Rabu, 26 Januari 2011

Mereka Membaca Sastra

Damiri Mahmud

Sudah sejak lama dikeluhkan, karya sastra kita tidak dibaca. Meski satu-dua meledak jadi best-seller tentu hal itu merupakan kekecualian di tengah-tengah ratusan atau bahkan ribuan buku-buku puisi, novel dan kumpulan cerpen. Ada yang mencari penyebabnya dari minat baca masyarakat yang rendah.

Buru-buru terbantahkan, melihat buku-buku komik, cerita-cerita anak, buku-buku agama, majalah-majalah wanita, terlihat laku keras. Banyak pula yang menduga hal ini terjadi karena karya sastra modern kita sudah tercerabut dari akarnya dan melenceng ke arah Barat. Terlebih-lebih puisi yang kelihatan begitu rumit dan tak bisa diresapi dan difahami maknanya. Diharapkan karya-karya sastra itu bahasanya mudah dicerna supaya dapat dibaca oleh masyarakatnya.

Walau bagaimanapun kita tak perlu pesimis. Bagaimana kecil jumlahnya, masyarakat kita masih membaca. Sastrawan tak perlu berhenti menulis, meski satu atau dua orang, dia masih punya pembaca. Terlebih pula jika diingat, karya sastra selalu mengatasi ruang dan waktu. Dia dapat bertahan dalam jangka waktu lama serta menyebar merambah sekat dan batas Negara.

Chekov dan Maupassant masih dibaca, hingga sekarang. Syair-syair Umrul-Qais, Al-Asya dan lain-lain penyair Arab pra-Islam, bahkan berguna untuk mempelajari kata-kata sulit dalam Al-Quran. Begitu juga syair-syair Li Po, Thufu, Wang-Wei, penyair klasik China. Chairil Anwar tidak difahami dan ditolak ketika dia masih hidup. Baru setelah HB Jassin mengapresiasinya, sehingga dia mempunyai pembaca yang luas bahkan dipelajari hingga sekarang.

Di bawah ini ada beberapa kisah ringan belaka. Di balik tanda tanya besar yang belum tuntas terjawab seputar karya sastra di menara gading, atau sastra tidak dibaca itu. Jauh dari keinginan narsis, meskipun baunya mungkin tercium dan mengarah ke sana. Kita hanya ingin memberikan kesan bahwa tanpa setahu kita, atau tak bisa kita duga sama sekali, sebenarnya walau bagaimana pun kisah-kisah dan sajak-sajak masih dibaca.

Satu kali, di akhir tahun 2009, saya berceramah di sebuah perguruan tinggi negeri. Di tengah sesi tanya-jawab yang agak panas, moderator mengalihkan acara ke suasana yang agak senggang. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk tampil ke depan menunjukkan kebolehannya. Aneka rupa yang disugukan. Ada yang menyanyi, musikalisasi puisi, baca puisi sambil nangis sungguhan dan tiarap di lantai.

Ada pula seorang mahasiswi yang lincah muncul dengan karyanya melantunkan pantun-pantun modern. Saya terkesima ketika salah satunya berbunyi kira-kira begini:
Masih kecil suka bon-bon
Mana giginya
Baca puisi takbir di horison
Eh, ketemu penyairnya

Puisi yang disebutnya memang dimuat di majalah Horison, sebuah majalah dengan tiras yang sangat kecil dan mencarinya di Medan luar biasa susahnya. Konon pula puisi itu telah dimuat lebih dua tahun yang lalu. Mahasiswi ini waktu itu tentulah baru semester satu atau dua. Sangat banyak mahasiswa ditambah dosennya yang seumur hidupnya tak pernah menjamah majalah sastra itu.

Kali lain, saya masuk ke satu ruangan seorang kepala kantor. Dia bertitel professor doktor. Ketika bertetemu saya, dia terkekeh-kekeh. Senang betul tampaknya seperti dua sahabat yang sudah lama tak jumpa. Atau mungkin sejenak terbebas dari kerutinan.

Di tengah percakapan, dia berceloteh. “Ah, mana bisa saya melupakan pak Damiri! Sudah sejak tahun tujuh-empat saya mengikuti tulisan Bapak…” Hehe, tahun 1974, tiga-puluh-lima tahun yang lalu. Waktu itu saya baru belajar nulis, meskipun memang dengan sangat menggebu-gebu. Kalau dibaca sekarang banyak yang menggelikan juga. Lebih menggelikan, saya tidak menyangka, ada seseorang yang rupanya mau membaca dan mengikuti tulisan saya.

Di seputar tahun itu, saya juga menulis cerita-cerita rakyat yang dimuat setiap minggu oleh mingguan Analisa. Ketika suatu malam saya bersama Hadian dan Tandi Skober naik beca dayung menyusuri jalan-jalan raya yang berlobang, si abang beca rupanya menangkap percakapan kami yang riuh dengan mulut berbuih-buih dan nguping bahwa salah satu di antaranya adalah nama yang dikenalnya.

Tak tahan memendam perasaan (hehe, kayak kasmaran saja) dia menyela untuk menyungguhkan nama saya. “Kenapa ruapanya…?” sambut saya agak kesenangan. “Eh, tidak…” elaknya sambil mengayuh. “Saya membaca cerita-ceritanya…”

Ketika saya ke kantor pos besar yang gedungnya sempat menjadi cover kumpulan cerpen Medan itu (semoga janganlah diruntuhkan seperti nasib tetangganya Rumah Bola yang kini jadi gedung BCA di sebelah) untuk mengirim sepucuk surat tercatat, karyawan kantor pos itu tercenung ketika membaca alamat surat. “Bapak yang namanya ini…” katanya ramah. Saya mengangguk. “Yang sering nulis-nulis di koran itu…!”

Keponakan-keponakan saya banyak tertawa geli membaca cerita-cerita dongeng itu karena banyak di antaranya mengandung cerita lucu, seperti Si Pandir. Mereka terhibur dan saya merasa senang juga. Pernah saya ternganga ketika seorang kawan di kampung saya, dengan enteng dan lancar mengisahkan Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal vander Wijk ketika kami kumpul-kumpul di sebuah kenduri.

Ada yang rasanya “tak masuk akal”. Waktu masih lajang, saya kembali ke kampung kelahiran saya setelah beberapa lama tinggal di Jakarta. Waktu itu pun saya belum nulis, tapi sudah banyak juga baca buku-buku sastra. Saya sering tidur di “rumah lajang” bergabung sama teman-teman. Romantik juga kehidupan macam begitu. Tak jarang nyanyi sampai pagi. Suatu malam, datang seorang kawan berselubung dengan kain sarung lantas baring sambil membuka bawaannya: sebuah buku dan membacanya sambil tiduran.

“Buku apa?” tanyaku heran dan tak sabar. Aku setengah merebutnya. Ternyata buku Hamlet, karangan Shakespeare yang baru diterjemahkan Trisno Sumardjo. Aku terkejut! Sebuah roman “berat” yang baru diterjemahkan sudah dibaca di sebuah kampung yang hingga sekarang pun koran-koran jarang masuk!

Maju pula ke satu kisah beberapa tahun lalu. Muncul satu percakapan yang sama sekali tak saya sangka-sangka. Juga di kampung kelahiran saya. Waktu itu saya melayat ke rumah seorang kerabat yang berduka cita. Kawan itu, seorang pedagang kedai sampah, tinggal di kampung sebelah, juga datang melayat. Cerita punya cerita, dia menyinggung tulisan saya tentang Chairil Anwar yang baru dimuat. Saya tersenyum saja karena merasa risi.

Dia mengomentari, tulisan itu ada yang kurang. Ini menarik. Karena komentar berasal dari seorang yang sepengetahuan saya tak punya kena-mengena dengan tulisan saya. Dia berkomentar mengapa saya tak menyebutkan nama kedua orang tua Chairil. Lebih membelalakkan mata saya ialah ketika dia berujar begini: “Nama Ayah Chairil itu Tulus. Dia pegawai Belanda. Emaknya orang Melayu, tinggal di Tanjung Mulia. Namanya Saleha.”

Saya hampir tak percaya kata-kata itu keluar dari bibirnya. Nama yang dia sebutkan memang benar. Karena saya pun sedang asyik-asyiknya membongkar tentang apa dan siapa Chairil Anwar. Tentang ibunya itu orang Melayu dan tinggal pula di Tanjung Mulia memang saya ragukan. Hal itu mungkin karena kesedapan cerita yang sudah ditambah-tambah. Kemudian kawan itu menyambung kisahnya lagi yang membuat saya lebih terkejut.

“Mulanya keluarga Chairil itu tinggal di Kota Maksum dekat Masjid Raya. Kemudian orangtuanya bercerai. Ayahnya kawin lagi dan pindah ke rumah gedong, rumah pegawai Belanda…”
Tak habis pikir saya dari mana kawan ini mendapat kabar atau berita padahal kegiatannya sehari-hari tak berkaitan dengan baca-membaca atau tulis-menulis. Dia menutup percakapan itu kira-kira begini.

“Kalau kau mau, nanti kujumpakan dengan seorang pamilinya. Dia dulu selalu datang ke mari (maksudnya ke Hamparan Perak). Ada kakak Chairil itu. Namanya Ani Halim. Mana tahu, sekarang paling tidak anaknya masih menempati rumah gedong itu…” Saya berdecak takjub. Tak saya sangka di rumah duka itu saya mendapat informasi seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar