Rabu, 26 Januari 2011

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III Tanjung Pinang; Kepedulian yang Tinggi terhadap Dunia Sastra

Idris Pasaribu

Setelah Jambi, kemudian di Bangka Belitung, kemudian di Kepri, tepatnya di Tanjung Pinang, Temu Sastrawan Indonesia, sebuah bukti keperdulian terhadap sastra. Terlebih di Kepulauan Riau. Tidak tanggung-tanggung. Untuk sebuah perhelatan pertemuan para sastrawan se Indonesia ini, Pemprov Kepri dan Kota Tanjung Pinang menyediakan dana sebesar Rp. 1 milyar.

Pemerintah di sana benar-benar ingin mengembalikan kejayaan Kepri sebagai awal mula dari sastra Indonesia yang katanya bermula dari sastra Melayu. Perjuangan untuk itu, membutuhkan keseriusan dari Pemerintahnya, juga dari para sastrawannya, tak keting galan keseriusan dari masyarakatnya sendiri.

Kota Tanjung Pinang pun membuat moto sebagai sebutan terhadap kotanya. Kalau Ini Medan Bung, kemudian di ganti Ini Baru Medan, namun tak mendapat sambutan, karena Ini Medan Bung, sebutan paling populer dan sangat dibanggakan. Berbeda dengan Kota Tanjung Pinang. Mereka menyebutnya sebagai Kota Gurindam Negeri Pantun.

Tersebutlah Raja Ali Haji, seorang sastrawan terkenal dari Kapri dengan Gurindam XII yang sangat dibanggakan bahkan, disebut awal mula dari sastra Melayu. Itu pula sebabnya, semua peserta TSI-III dibawa berwisata dan menziarahi Mesjid Raya Sultan Riau, Penyengat di Pulau Penyengat. Di pulau itu, ada makam-makam para petinggi Sultan, termasuk di dalamnya makam Raja Ali Haji.

Tak khayal, jika Pemprov dan Pemkot Tanjung Pinang, mempersiapkan Tanjung Pinang sebagai tuan rumah TSI-III, bagi kehadiran para sastrawan dari seluruh Indonesia. Para sastrawan pun merasa nyaman mengikuti semua acara yang berlangsung dalam TSI-III sejak 28 Oktober sampai kepulangan pada 31 Oktober 2010.

Begitu mendarat di Bandar Udara Hang Nadim Batam, sudah ada panitia yang menyiapkan mobil penjemputan, membawa peserta ke Pelabuhan Punggur untuk menyeberang ke Tanjung Pinang.

Di pelabuhan Tanjung Pinang pun sudah tersedia bus yang menjemput peserta menuju hotel. Pelayanan panitia terhadap semua peserta dari luar provinsi maupun peserta dari dalam provinsi sendiri, demikian baik. Antusias masyarakat terhadap kegitan TSI ini, juga sangat tinggi. Keikutsertaan para guru bahasa Indonesia/sastra di Kepri juga luar biasa, termasuk para mahasiswa dan siswa SLTP dan SLTA.

Pembukaan dan Penutupan

Acara Pembukaan dilakukan di tepi pantai yang langsung dibuka oleh Gubernur Kepulan Riau. Sedang penutupan dilakukan oleh walikota Tanjung Pinang yang juga seorang penyair. Berbagaiu acara diskusi pun di gelar di Hotel Pelangi Tanjung Pinang. Hampir setiap even, walikota Tanjung Pinang tak pernah absen menghadirinya. Nampak jelas, antusiasme dari walikota Tanjung Pinang selaku pejabat merangkap seorang penyair, memberikan apresiasi yang tinggi dalam semua kegiatan.

Usai acara pembukaan, walikota Tanjung Pinang nampak membaur dengan para penyair. Saat itu, ibu wali -begitu sebutan yang diberikan kepadanya- lebih memosisikan dirinya sebagai penyair, ketimbang sebagai walikota. Selalu memberikan salam kepada peserta dengan seulas senyumnya yang khas. "Bagaimana tidurnya tadi malam, nyenyak?" sapanya kepada penulis pagi saat seminar mau dimulai. "Waduh, kami tidur nyenyak, Bu," Diah Hadaning, penyair berusia 70 tahun itu yang menjawab.

"Maafkan kami kalau ada pelayanan kami yang kurang memuaskan," kata bu wali lagi dengan senyumnya yang kelihatan demikian tulus. "Bagaimana Bang Idris. Saya mohon, nanti malam Bang Idris baca puisi atau baca cerpen ya," pintanya lagi dengan keramahan. "Terserah panitia, Bu." Diiringi senyuman dari sastrawan yang lain, termasuk dari Medan, seperti : Thompson HS, Raudah Jambak, Hasan Al Banna, dan Zulkarnain Siregar.

"Oh... tidak. Harus itu!" sugestinya. Mulanya penulis hanya senyum-senyum saja. Tak terpikir harus baca puisi atau baca cerpen. Ternyata 20 menit sebelum acara di alun-alun tepi pantai di Tanjung Pinang mendatangi penulis. Kata panitia, atas permintaan bu wali, penulis harus beca cerpen yang tertera di dalam buku. Tak boleh cerpen yang lain.

Bu wali sudah membaca cerpen saya, maka cerpen yang tertera di buku antologi itu yang harus dibacakan. Persiapan sangat tiba-tiba, penulis pun membacakan cerpen yang tertera dalam antologi cerpen TSI-III. Penulis tau bagaimana kedekatan antara Bu Walikota dengan Hamsad Rangkuti yang sudah dianggapnya abang. Bu wali ternyata tahu juga, kisah-kisah yang tertera dalam cerpen itu. Jadilah malam itu, penulis membaca cerpen.

Berbagai Kegiatan

Kalau di Medan, baca doa selalu pada akhir acara. Berbeda dengan di Tanjung Pinang, doa selalu berada pada posisi awal, sebelum acara dimulai. Seminar diawali dengan menampilkan Prof. Dr. Budi Darma sebagai penceramah; Sastra Indonesia Mutakhir, Kritik dan Keragaman. Dr. Katrin Bandela sebagai pembanding/penceramah. Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT (Akib) sebaghai pemandu. Sebenarnya materi yang satu ini sangat ditunggu-tunggu peserta. Banyak yang mempersiapkan diri untuk bertanya. Panitia justru menyatakan, tidak ada tanya jawab, karena terbatasnya waktu.

Materi kedua dalam Fenomena Sastra Mutakhir: Komunitas dan Media (Perihal Keragaman Ideologi dan Ekspresi Sastrawan), tampil Nanag Suryadi, dan Asep Samboja kedua sebagai pemakalah dan Hasan Aspahani (Pemandu).

Diskusi kedua bertajuk; Kajian Teks: Penjelajahan dan Pendalaman Karya (Perihal Keragaman Mata Kritik) oleh Dr. Melani Budianta dan Dr. Keitch Fouler. Dr. Farouk HT sebagai penyanggah serta Drs. Jamal D Rakhman, M. Hum sebagai pemandu. Acara pun beralih sejenak. Para peserta dibawa melancong ke kota lama Tanjung Pinang dan malamnya acara pentas sastra.

Sabtu 30 Oktober 2010, diskusi ke III bertajuk; Kemelayuan dan Keindonesiaan: Perihal Keragaman akar Sastrawan, oleh Prof. Dr. Hasanuddin WS, M.Hum, Dr, Amien Sweeny keduanya pemakalah. Drs. Al Azhar sebagai penyanggah dan Kenedi Nurham sebagai pemandu. Acara dilanjutkan dengan mengunjungi Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Situs Istana Kota Lama Ulu Riau dan ke Pulau Penyengat.

Maluku Utara

Acara demi acara terlaksana dengan baik dengan kesan yang indah disetiap peserta yang hadir. Walikota Tanjung Pinang denga santun mengatakan, pihaknya merasa banyak yang kurang dalama melaksanakan pertemuan itu.

Padahal semua peserta merasakan indahnya pertemuan itu. Walikota Tanuung Pinang berharap, kalau masih berasa belum puas atas pelayanan panitia, diharapkan semua peserta boleh hadir lagi ke Tanjung Pinang untuk berlibur dan merasakan kehangatan masyarakat anjung Pinang. Sebuah pinta yang sangat diplomatis, dari seorang perempuan yang posisinya walikota.

Tim kurator dan pantia pun memutuskan untuk tahun 2011, Temu Sastrawan Indonesia ke IV dilaksanakan di Ternate Maluku Utara. Hampir setiap provinsi berjuang, agar provinsinya dijadikan sebagai tuan rumah pada Temu Sastrawan berikutnya. Kelihatan sekali, Sumatera Utara malah adem ayam, seperti tak perduli.

Ini dibuktikan, dengan tak seorang pun pejabat dari Provinsi Sumatera Utara yuang menghadiri Temu Sastrawan Indonesia ini. Ini juga bukti, kalau para pejabat di Sumatera Utara ini, termasuk DPRD-nya tak perduli pada sastra.

Jangankan untuk hadir ke Temu Sastra Indonesia, -sebagai sebuah program pemerintah secara nasional- pejabat di Sumatera Utara tak perduli. Untuk memberangkatkan sastrawannya saja, juga tidak. Jangankan untuka memanggil para sastrawan yang akan menghadiri Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang, untuk menerima sastrawan dari Sumut untuk beraudiensi pada Gubernur Sumut dan Walikota Medan saja, tak ada waktu.

Goodwill dari Pemprovsu sangat dibutuhkan. Setidaknya Kadis Parsenibud Sumut wajib hadir ke Tanjung Pinang untuk melihat bagaimana situasi sebagai pembelajaran, agar Pemprovsu bisa melakukan even kesenian seperti TSI-III.

Bagaimana sastra dan kesenian lainnya tumbuh berkembang di Sumut, jika pejabatnya tak seorang pun mau memberikan apresiasinya. Perlu dipertanyakan, kemana hati para pejabat kita di Sumut? Apakah mereka berpikir, kalau seni itu tidak mempunyai arti sama sekali? Atau mereka sudah tidak memiliki hati nurani lagi?

Ketika kampanye Pemilukada, mereka semua seakan memiliki jiwa seni dan akan memperjuangkan dunia kesenian di Sumatera Utara, Medan khususnya. Nyatanya semua hanya sebuah janji politik belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar