Rabu, 26 Januari 2011

Tempat Jatuh Lagi Dikenang, Konon Pula Tempat Bermain

Ali Soekardi

TEMPAT jatuh lagi dikenang, konon pula tempat bermain. Ungkapan ini dikemukakan Nuim Khaiyath, anak Medan yang jadi wartawan di Australia, dalam tulisannya yang dimuat dalam buku berjudul “Ini Medan, Bung” (Bunga Rampai Sastra) yang diterbitkan oleh Penerbit Seniman Medan, Jakarta, Mei 2010.

Nuim Khaiyath menceritakan kebanggaannya sebagai anak Medan, kota kelahirannya, yang selalu dikenangnya di mana pun dia berada. Konon seorang anak Medan akan melakukan apa saja untuk Medan, kecuali tinggal di Medan. Semakin jauh seorang anak Medan dari Ibukota Sumatera Utara itu, maka semakin tebal pula rasa sayang dan kebanggaannya kepada Medan.

Seakan Medan menjadi pusat bumi dan segala yang terdapat di sana adalah yang terbaik. Terutama makanannya, mie rebus khas Medan, soto Medan, lontong Medan - yang merupakan hidangan untuk sarapan-es campur Medan, dan pencuci mulut berupa lupis yang dianggap melambangkan sesuatu yang tersembunyi.

Memang Nuim Khaiyath dalam tulisannya itu, menceritakan dengan bahasanya yang khas, renyah dan terkadang kocak tentang “sejarah” kota terbesar ketiga di Indonesia ini, tidak dari sudut ilmu sejarah, tetapi dari sisi apa yang ada, apa yang menjadi kebiasaan, apa yang dilihat dan apa yang dialaminya di masa lalu. Menurut Prof.Usman Pelly (USU) penduduk keturunan Jawa merupakan mayoritas di Medan, sedangkan penduduk aslinya, orang Melayu, termasuk dalam kategori “dan lain-lain”.

Itulah makanya ketika PSMS dalam tahun 1970-an kembali menjadi perserikatan, banyak yang tidak begitu berbesar hati untuk mengacungkan jempol. Kenapa ? Karena penjaga gawang PSMS bernama Ponirin, tapi Ponirin menjadi cekatan mungkin karena air dari Sibolangit yang waktu itu dapat diminum langsung dari pet (kran), tidak perlu dimasak. Ketika itu PSMS dikapteni Ramlan Yatim dikenal sebagai The Killer, sang pamungkas dalam tahun 1950-an, dan dilatih menir Jan-orang Belanda.

Dan pada tahun 1950-an, boleh percaya boleh tidak, sepatu bola terbaik seluruh Indonesia adalah buatan si Apek Jalan Mesjid, Gang Bengkok, persis berseberangan dengan masjid lama yang juga dikenal dengan julukan Masjid Gang Bengkok.

Masjid ini adalah sumbangan Sang Kapten China, Tjong A Fie. Masjid yang bumbungannya khas China menimbulkan heboh, karena setelah selesai dibangun tidak ada Muslim yang bersedia shalat di dalamnya, karena menganggap tidak sah shalat di masjid yang dibangun orang Majusi.

Perdebatan

Maka diadakan perdebatan antara para ulama Sumatera Timur (waktu itu belum ada Sumatera Utara). Yang berkeyakinan tidak sah shalat di masjid yang dibangun orang Majusi itu membawa segudang kitab kuning. Tapi ada seorang ulama yang berpendirian sah shalat di masjid tersebut, ketika tiba gilirannya memberikan pendapat, ia mengatakan haji yang hadir tidak sah. Gempar. Kenapa ? Karena pergi ke Mekkah naik kapal Belanda yang kafir, jadi tidak sah.

Dia juga menceritakan keadaan Medan tempo doeloe, antara lain tentang Jalan Canton (sekarang Jalan Surabaya- pen). Di tengah jalan berderet kios-kios tempat pedagang berjualan, dari hiasan, obat-obatan, tapi juga ada tekstil dan buku/majalah.

Dari ujung ke ujung ada bioskop Capitol, Orion, di tengah ada bioskop Morning yang kemudian berubah menjadi Minang (sebenarnya semua bioskop di Medan ketika itu ganti nama dengan nama Indonesia : Capitol jadi Kesuma, Orion menjadi Horas-Red).

Nuim juga bercerita tentang permainan Trup Keling berubah menjadi Trup Gembira (untuk menghargai warga turunan Tamil), tentang preman yang sudah lama ada di Medan, ada preman Majestik, preman Gang Buntu, preman Medan Baru. Banyak di antara mereka menjadi calo tiket bioskop. Juga cerita tentang titi gantung.

Katanya, kata titi tidak pas rasanya kalau digunakan untuk Jembatan Merah di Surabaya, yang ada lagunya berjudul sama yang selalu dinyanyikan oleh Bing Slamaet (ini keliru, karena lagu Jembatan Merah merupakan irama keroncong karya Gesang dan dinyanyikan sendiri oleh Gesang). Masih banyak lagi hal-hal unik kota Medan yang diceritakan Nuim Khaiyath Tentang Sentral Pasar, durian, buah-buahan dingin, Pajak Ikan Lama, dan sebagainya, dan sebagainya.

Preman

Pada mulanya saya menyangka buku yang berjudul Ini Medan, Bung berisi tulisan-tulisan (artikel, dan feature) tentang kota Medan. Ternyata bukan. Di samping beberapa tulisan memang mengenai kota Medan (salah satunya tulisan Nuim Khaiyath), sebahagian besar berupa karya sastra seperti puisi maupun cerita pendek karya para seniman Medan yang bermukim di Jakarta (merantau) maupun masih bertahan di Medan.

Ada Adi Mujabir, Afrion, Aldian Aripin, A.Rahim Qahhar, Chairul Zen, Damiri Mahmud, Diurnanta Qelanaputra, Teja Purnama Lubis, Asro Kamal Rokan, Sori Siregar, Hamsad Rangkuti, Hazairin Pohan, Neta S.Pane, Rani Dahlan, Rina Mahfuzah Nasution, Tandi Skober, Saut Poltak Tambunan, Idris Pasaribu, Rahmat Mulia Nasution, dan seterusnya.

Juga ada yang menulis essay seperti Ben M.Pasaribu, D.Rifai Harahap, As Atmadi, Jaya Arujuna, Rita Matu Mona, S.Dalimunthe, Z.Pangaduan Lubis. Cerita pendek mereka ada yang ceritanya berlokasi di Medan, tapi banyak juga yang lokasinya di luar Medan seperti di Danau Toba.

Cerita yang asli menggambarkan atau cerminan orang Medan dengan problemanya adalah Preman Pajak (Rahmat Mulia Nasution), berkisah tentang Makmun preman pajak Simpang Limun, yang naik daun menjadi anggota DPR lalu sampai menjadi menteri karena kepopulerannya, kecerdikan, dan juga kejagoannya. Setelah jadi orang besar apa dia mau mengunjungi lokasi awal-karier-nya Pajak Simpang Limun.

Neta S.Pane dalam Toba Aku Tiba cerita memelas dirinya tak sukses selama 27 tahun merantau, pulang ke kampung di Danau Toba untuk melampiaskan kekesalan dan kekonyolan, namun mendapatkan Danau Toba tidak seperti dulu. Sudah banyak yang berubah. Toba semakin gerah. Kesejukan sudah pergi entah kemana. Kedai-kedai tua semakin ringkih bersaing dengan toko-toko serba ada. Angkutan kota merajai jalanan.

Yang tetap setia hanyalah inang-inang penjual mangga, dan ayahnya yang tetap setia dengan perahunya mencari ikan di danau, tapi hasilnya kian menciut. Sang ayah pasrah. Katanya “Tak seperti dulu lagi, sekarang susah, tinggal ikan-ikan kecil saja yang ada. Tapi sudahlah, itu mungkin rezeki kita dari Debata.’’

Mariam Tomong

Agra pegawai percetakan di bagian delivery yang gajinya pas-pasan mengalami kesulitan mencari pinjaman duit karena kedatangan mertua dan iparnya. Dia ingin membawa mereka jalan-jalan melihat Jakarta. Dia ingin menggadaikan kamera kesayangannya, tapi ditolak karena itu kamera tua ketinggalan zaman.

Dengan rasa putus-asa mendalam dan dalam hujan lebat dia pulang. Tak disangka di rumah dia dinantikan Kepling yang memberi tahu dia diminta untuk menjadi jurufoto pesta pernikahan. Rezeki datang sendiri.

Itulah kisah karya Sori Siregar dalam Kamera, bahwa ada faktor X dalam masalah rezeki manusia. Mariam Tomong Mariam Montir dengan pembukaan Rakyat do hami, Bapa, Rakyat do hamiii, Rakyat do hami Bapaaaa !!! adalah karya Idris Pasaribu yang unik, kisah berlatar-belakang pertikaian politik berdarah-darah, rakyat kecil juga jadi korban, hanya siapa sangka si Ripin Pohan, si anak kecil ringkih yang jadi komandan pasukan gunung.

Sedangkan AS Atmadi menulis essay Psikologis Penjaga Gawang Budaya Koran berkeluh-kesah mengenai tugasnya di Harian Waspada. Penulis essay lainnya ada Ben M.Pasaribu tentang musik di kota ini, Rizal Siregar tentang film Medan, S.Dalimunthe tentang teater dan film, dan sebagainya.

Kepada H.Anif dan Dr.H. Rahmat Shah yang memberi pengantar dan modal penerbitan buku ini alangkah baiknya jika mereka mendirikan badan penerbitan yang bersedia menerbitkan buku-buku karya anak Medan, bukan hanya sastra tapi juga lainnya seperti karya para wartawan, para dosen berupa buku ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Semoga !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar