Rabu, 26 Januari 2011

Selamat Jalan Tanpa Suara

Damiri Mahmud

Tuhan.
Telah tiba aku pada ketika
Di mana segala pun jadi tiada

Dan aku pun luruh
Maka Engkau pun lengkap, utuh

Puisi Nafi-Isbat yang ditulisnya tahun 1976 itu, baru menjadi kenyataan sekitar 34 tahun kemudian. Hari Jumat tanggal 15 Oktober 2010, sekitar pukul 09.30, saya menerima berita dari A. Rahim Qahhar, penyair Aldian Aripin telah luruh.

Saya terpana sejenak. Sekitar lima bulan lalu, ketika Aldian baru kembali dari rumah sakit, saya, Sulaiman Sambas, A. Rahim Qahhar, Mihar Harahap menjenguk di kediamannya. Aldian masih terbaring di kamar. Ketika melihat kami masuk diantar isterinya yang setia, dia begitu bersemangat. Di sampingnya ada kursi roda, ketika setiap pagi dan sore keluar kamar didorong isterinya ke halaman menghirup udara bersih dan kembali belajar berjalan, bertatih-tatih.

Seakan kami bukan berhadapan dengan seorang yang masih sakit. Dia bercerita banyak hal tentang sastra dan budaya. Bahkan ketika kami akan pulang, dia masih sempat minta bantuan isterinya mengambil empat kliping puisi yang dia print, ketika masih sehat untuk dibagi-bagikan kepada kami.

Menjelang Ramadhan, saya menerima telepon Sori Siregar, dia sedang di Medan. Saya tahu pengarang yang kini berdomisili di Jakarta itu, sahabat Aldian. Saya katakan, penyair itu masih belum sehat. Saya memberikan nomor telepon Aldian kepadanya. Dua hari kemudian, saya menerima telepon Sori Siregar lagi, dia baru menjenguk Aldian di Rumah Sakit Haji. Saya terkejut karena saya sendiri belum mengetahui, Aldian kembali terbaring di sana.

Saya bersama Sulaiman Sambas membezuknya di sana. Di sebuah kamar yang tenang, didampingi isterinya, Aldian bukan hanya terbaring. Lebih dari itu, dia tak dapat lagi berkomunikasi! Mujurnya, masih dapat memahami pembicaraan kami. Ketika kami mengucapkan kata-kata kesabaran dan doa dia mengangguk tenang.

Ketika kami berbicara agak panjang dengan isterinya menyangkut pembawaan dan prilakunya, Aldian sempat menangis. Haru. Dia seorang yang selalu bersemangat dan bertemperamen keras, tapi suka menolong sesama kawan.

Saya teringat ketika di akhir tahun 70-an, saya bertemu dengan Aldian di Jalan Perdana bersama Burhan Piliang. Kalau tak salah, dia baru datang dari Pakanbaru, karena bertugas sebagai pejabat Imigrasi di sana. Dia menggiring saya ke sebuah rumah makan “Alor Strar” di samping Masjid Lama.

Sambil menunggu hidangan, saya “didampratnya” karena dia sempat mendengar, saya baru mengundurkan diri sebagai Anggota Dewan Kesenian Medan (DKM), sekarang bernama Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU). Waktu itu berita tentang pengunduran diri saya itu menghebohkan juga. “Mau jadi pahlawan kau…!” serunya. Saya tersenyum saja dan memberikan argumentasi seadanya saja dan dianggukkan Burhan Piliang yang ketika itu manejer Tapian Daya.

Ketika mulai pensiun tahun 1994, Aldian mulai menekuni dan menghidupkan kembali penerbitan Sastra Leo yang dulu pernah menerbitkan buku-buku sastra karya penulis Medan. Dengan tekun dia kembali menyalin kumpulan puisinya yang lama seperti Labyrinth, Oh, Nostalgia, Elipsis, Nyanyian Malam Hari, Amanat, dan lain-lain, lalu dicetak ulang lagi.

Kemudian beberapa kumpulan itu disatukannya pula bersama komentar para penulis tentang puisinya di bawah judul Aldian Aripin Penyair. Begitu juga penerbit Sastra Leo ini sempat menerbitkan kumpulan puisi Herman Ks Dan Sepi pun Terperangkap dalam Senyap.

Ini menjadi sejarah bagi Herman Ks, karena setelah malang-melintang di dunia kepenyairan baru satu itulah terbit kumpulan puisi solonya. Ada satu antologi puisi dwi-bahasa (Indonesia-Inggris) yang sempat dieditnya berjudul Horison of Hope karya beberapa penyair Sumatera Utara, tapi belum sempat cetak.

Baru sebatas photo kopi beberapa puluh eks, tapi dikemas rapi dengan kulit buku yang menarik. Begitu pula buku 25 tahun Omong-Omong Sastra, editor Awaluddin Ahmad, diterbitkan di Sastra Leo ini.

Kami sering ngobrol baik di Taman Budaya ataupun di rumahnya yang berhalaman luas dan sangat teduh itu. Tak jarang berdebat tentang berbagai masalah baik sastra, budaya, politik dan juga agama. Aldian selalu tegar dalam pendapatnya, tapi sangat paham dengan perbedaan pendapat. Satu kali saya disindirnya, supaya jangan hanya menulis di koran saja.

“Sudah saatnyalah kau menulis buku…!” Saya tidak mempersoalkan apakah dia mengetahui, beberapa buku saya pun sudah terbit. Saya tantang dia. “Bagaimana kalau aku menulis buku tentang puisi-puisi Abang…” Aldian setuju. Empat bulan kemudian, tahun 2002, terbitlah sebuah buku saya yang saya beri judul Esensi dan Dinamika lalu dia minta ditambahkan subjudul Telaah Sufistik terhadap Puisi dan Perjalanan Spiritual Aldian Aripin.

Aldian kelihatan senang kupasan saya di buku itu. Meskipun banyak puisinya di sana saya “telanjangi”. Dia sering memperkatakan buku itu di hadapan saya dan teman-teman, walaupun beberapa penulis suka mengganggunya, sebenarnya saya menulis esai baru yang kurang berkaitan dengan puisinya.

Ketika suatu kali kami berdua sedang duduk mendengar pembacaan puisi dalam Pertemuan Sastrawan Sumatera di Taman Budaya, 2007, Aldian mendamprat saya lagi.
“Kau nampaknya menganaktirikan buku itu…!” serunya kecewa. “Kenapa…?” jawab saya heran.

“Kulihat dalam beberapa riwayat hidupmu belakangan ini, tak kau sebut-sebut tentang buku itu…” lanjutnya kesal. Memang, bahkan buku bunga rampai yang diterbitkan panitia pertemuan ini Pumpuan Sastra, dalam kolom biodata saya, tak tercamtum buku Esensi dan Dinamika itu. “Ah, itu terjadi karena bukan aku yang mengedit riwayat itu…” saya membela diri. “Mereka sendiri yang membuatnya tanpa minta dari aku…”

Aldian tak menyadari “kekeliruannya”. Ketika menerbitkan buku dia tak mengikuti “trend” yang kini selalu dibuat kalau terbit sebuah buku. Acara launching atau peluncuran! Memang, kayaknya mahal. Seperti peluncuran buku puisi saya, Damai di Bumi di Garuda Plaza. Barangkali jauh lebih mahal biaya launching daripada penerbitan bukunya.

Ada kiat lain yang tak mengeluarkan uang bahkan dapat duit. Misalnya, seperti yang juga saya lakukan, bekerjasama dengan universitas. Kita edarkan buku ke mahasiswanya, lalu dibuat diskusi tentang buku itu. Menarik. Mahasiswa dapat ilmu, kita dapat duit. Buku pun laku.

Setelah beberapa saat tercenung mendengar berita musibah Jumat pagi itu, saya langsung menelpon sahabatnya itu, Sori Siregar, di Jakarta. Dia sangat terkejut dan terisak. Pembicaraan kami terputus sebentar. Katanya dia menangis tak dapat melupakan sahabatnya penyair yang satu ini. Mungkin dan tentu saja, banyak kesannya yang mendalam ketika mereka sama-sama di Medan dulu. Lagi pula katanya, dia sangat berharap akan kesembuhan Aldian dan berdoa ketika menjenguknya di Rumah Sakit Haji itu.

Beberapa saat kemudian Sori tenang kembali. Kita masih mengharapkan kesehatannya, tapi Allah lebih mengetahui dan mengasihi hambaNya lebih dari siapapun.
Aldian Aripin (Haji Aldian Aripin Dalimunte, Bachelor of Arts) lahir pada tanggal 1 Agustus 1938 di Kota Pinang, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Tamat dari Akademi Imigrasi, Departemen Kehakiman, tahun 1965, ditempatkan di berbagai kantor imigrasi di Medan, Pekanbaru, Bagan Siapi-api, Palembang dan Lhok Seumawe sebagai pegawai dan kepala kantor imigrasi. Tahun 1994 Aldian memasuki masa pensiun dalam jabatan sebagai Kepala Subdirektorat pada Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta, dengan pangkat terakhir 4a.

Dalam kariernya sebagai pegawai imigrasi, Aldian telah melawat ke berbagai Negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, RRC dan Saudi Arabia. Dia menunaikan ibadah haji pada tahun 1991. Kumpulan puisinya adalah Labyrinth, (dalam Ribeli), Oh, Nostalgia, Nyanyian Malam Hari, Elipsis, dan Amanat. Di samping itu, puisi-puisinya terkumpul dalam buku Commemorative Stone and Other Poems dan beberapa bunga rampai: Terminal, Asean Poetry, The Horizon of Hope.

Esei-esei pendek yang merupakan pandangan relijiusnya, pernah dimuat secara bersambung di harian Haluan, Padang. Kemudian dibukukan di bawah judul Dienul Islam. Komitmennya terhadap puisi dan sastra, terus berkesinambungan, hingga ke hari tuanya. Aldian pernah menjabat sebagai Kordinator Bidang Sastra, Dewan Kesenian Medan (DKM) (1972-1974), dan Sekretaris Umum Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) (1999-2004).

Dalam bait puisinya Au Revoir Aldian menulis, Selamat jalan/selamat tinggal/tanpa suara.
Seakan dia melantun untuk mengiringi kepergiannya sendiri.
Sendiri.
Tanpa suara.
Medan, Okt, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar