Rabu, 26 Januari 2011

Kita Hidup di Negeri Fiksi

Bersihar Lubis

Pesona Gayus Tambunan semakin memikat. Bayangkan, 68 kali dia keluar dari Rutan Brimob di Kelapa Dua Depok, antara lain ke Bali, Singapura, Kualalumpur dan Macau.

Bagaimana bisa? Dia kan seorang koruptor kasus perpajakan? Luar biasa. Lepas dari kesalahannya, Gayus juga seakan-akan mempertontonkan bahwa "penegak hukum" di negeri ini bisa dibeli.

Sekiranya cerpenis Jerman itu, Kafka masih hidup dia mungkin akan membuat Gayus menjadi tokoh utama karakter ceritanya. Kafka memang terkenal dengan cerpen-cerpen yang menyindir habis-habisan dunia penegakan hukum. Atau seperti Nikolai Gogol yang telah menulis "Sang Inspektur Gadungan" yang kocak penuh sindiran itu.

Gayus seolah-olah tak terjadi di dunia nyata. Seakan-akan fiksi, tetapi nyatanya adalah true story. Logika kita telah dilecehkan. Mengapa hanya dia yang diadili? Bagaimana dengan perwira polisi dan jaksa serta para atasan Gayus di Direktorat Pajak?

Jika Gayus yang cuma Golongan III A itu sedemikian kaya, tentu tak karena gajinya yang memang tak seberapa, bagaimana pula gerangan kekayaan para atasannya? Logika kita mengatakan tak mungkin Gayus sendirian melakoni pekerjaan kumuhnya. Pastilah dia bekerja sama baik secara horisontal atau vertikal.

Jika dia bekerja sendirian, katakanlah begitu, alangkah hebatnya Gayus. Dia telah bagai siluman yang bisa mengangkangi semua regulasi perpajakan tanpa ketahuan oleh rekan maupun atasannya. Dia one man show. Mirip Rambo yang mengalahkan tentara Vietkong sendirian dalam film-film AS tentang perang Vietnam.

Tetapi mustahil kita mempercayai fiksi ala Gayus itu. Namun bila kelak hanya Gayus yang diadili dan dihukum, termasuk pelaku kecil lainnya, sementara para kakap tetap aman di peraduannya, bukankah "fiksi" itu telah digenapkan dan disahkan oleh pengadilan? Putusan siapa lagi yang kita percayai jika bukan putusan pengadilan?

Kita hidup di negeri "fiksi"? Terdengar memang satire. Pahit. Anda tentu saja menolaknya. Saya juga. Tetapi bagaimana menjelaskan jika terpidana Kasiyem di Bonjonegoro sana bisa digantikan oleh orang lain dengan bayaran tertentu? Seperti joki?

Ada narapidana palsu. Ada pula tiket palsu. Mungkin, "fiksi" ini akan semakin heboh, jika ada pula "penerbangan" palsu, sekaligus tujuan penerbangan palsu. Ini benar-benar full fiksi.

Walikota Tomohon, Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar yang kendati sudah menjadi terdakwa korupsi, toh masih dilantik di kantor Kementerian Dalam Negeri. Sidang parpurna DPRD diboyong dari Tomohon ke Jakarta. Padahal, dalam bunyi sumpahnya, juga termaktub untuk tidak korupsi, tetapi tetap dilantik juga.

Gegernya lagi Jefferson bahkan melantik sejumlah eselon, para staf dan anak buahnya, dan lagi-lagi pelantikan itu dilakukan di LP Cipinang, Jakarta. Ada apa ini? Bukankah ini seakan-akan terjadi di dunia fiksi?

Saya tak hendak memasuki hukum formal yang memungkinkan kasus Jefferson itu terjadi. Soal ini sudah banyak dikupas oleh pakar hukum. Tetapi, bagi saya, mestinya "hukum yang membolehkan" itu yang harus dicopot. Atau boleh saja Jefferson dilantik, lalu seketika itu pula ia dinonaktifkan, sehingga tak perlu melantik stafnya di dalam penjara pula.

Para pembaca! Ini baru yang ketahuan saja. Bagaimana dengan yang belum ketahuan? Saya tak hendak berandai-andai, tetapi jangan-jangan pada hari-hari ke depan kita akan semakin banyak lagi mendengar yang aneh-aneh di negeri ini. Ya, katakanlah sejenis "fiksi" yang tadinya berada di wilayah cerpen atau novel, tetapi telah berpindah ke pentas kehidupan nyata.

Saya membayangkan seperti itu karena reformasi birokrasi belum berjalan di berbagai instansi. Baru sedikit yang melakukannya, dan bahkan belum sebuah jaminan akan membuat pelayanan public menjadi lebih baik, misalnya, jika gaji para pelaksana dinaikkan.

Fakta itu terbantahkan karena nyatanya yang melakukan penyalah-gunaan wewenang sebuah jembatan menuju sogok dan korupsi justru adalah mereka yang take home pay-nya memadai. Sudah kaya masih kurang kaya, rupanya.

Entah kapan pula kita akan kembali dikagetkan oleh berbagai peristiwa "fiksi" pula. Saya khawatir jika terlalu kerap, maka unsur "daya kejutnya" akan hilang. Bahayanya secara psikologi-sosial sangat berbahaya. Kita kemudian akan semakin terbiasa dengan yang "aneh-aneh" itu.

Saya teringat kisah pujangga Ronggowarsito yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 dan meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun. Dia adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta.

Sejarah menulis bahwa dia lah yang memperkenalkan istilah "zaman edan" dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:

amenangi jaman édan,

éwuhaya ing pambudi,

mélu ngédan nora tahan,

yén tan mélu anglakoni,

boya keduman mélik,

kaliren wekasanipun,

ndilalah kersa Allah,

begja-begjaning kang lali,

luwih begja kang éling klawan waspada.

Terjemahannya sebagai berikut:

menyaksikan zaman gila,

serba susah dalam bertindak,

ikut gila tidak akan tahan,

tapi kalau tidak mengikuti (gila),

tidak akan mendapat bagian,

kelaparan pada akhirnya,

namun telah menjadi kehendak Allah,

sebahagia-bahagianya orang yang lalai,

akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono yang kala itu dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi.

Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain. Bahkan mengangkangi hukum.

Masyarakat tak boleh membiarkan hal ini. Masyarakat harus mengawal penegakan hukum. Masyarakat juga harus mengawal fungsi kontrol lembaga legislatif, jangan sampai wakil rakyat ini pun berkolusi dengan eksekutif dan penegakan hukum jika justru menelikung dunia hukum.

Jangan sampai ada anggapan umum, bahwa di "zaman edan" maka orang yang tidak edan malah dianggap edan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar