Rabu, 26 Januari 2011

Puisi dan Secangkir Teh di Sebuah Senja

Alex R Nainggolan seorang penyair dari Jakarta di dalam artikelnya yang berjudul Puisi sebagai Perang Filsafat menuliskan bahwa puisi merupakan sebuah permainan diri, dimana seluruh unsur tubuh bergerak. Sejumlah diksi yang tersusun, lebih layak disebut sebagai kesatuan yang unik. Puisi selalu berhadapan pula dengan filsafat, bagaimana penyair mengembalikan keyakinan, sikap, keraguan, kecemasan, kemarahan, kejengkelan, atau nuansa main-main terhadap hidup.
Lebih dahsyat lagi seorang Acep Zam Zam Noor mengatakan bahwa ukuran sebuah puisi adalah bulu kuduk. Wow, sebegitu dahsyatkah pengaruh menikmati puisi?.

Itulah sebabnya mengapa puisi tak"kan bisa hilang dari bumi seperti yang ditulis seorang pandai fiksi dan nonfiksi, Hasan Al Banna di dalam catatan pembukaan yang ada di buku antologi puisi yang sampul depannya didominasi warna biru ini, dan fenomena sepak terjang puisi ini juga dibuktikan dengan beberapa tahun belakangan ini khususnya di Sumatera Utara sendiri sangat gencar untuk menyebarkan aroma giat membaca dan menulis sehingga memunculkan banyak komunitas penulis muda. Intinya saat ini siapa saja bisa jadi penulis, pengarang dan penyair.

Dalam hal ini, FLP (Forum Lingkar Pena) wilayah Sumut sebagai salah satu wadah para penulis muda kembali turut menambah semarak warna kepenulisan fiksi di Sumut dengan menghadirkan karyanya berupa puisi tapi rasa nano alias dalam bentuk kumpulan puisi dari para anggotanya.
Ada terdapat 23 penyair dengan 129 puisi yang termaktub di dalam antologi ini, dengan berbagai ciri khas para penyairnya, seluruh puisi dalam antologi memiliki citra rasa yang berbeda-beda, bagi para pembaca yang senang dengan puisi bertema cinta dan romantisme mungkin Anda bisa menikmati puisi dari salah satu penyair muda bernama Fitri Amaliyah, berjudul "Mengeja Cinta" atau juga pada koleksi puisi dari penyair yang bernama lengkap Lailan Syafira, "Cinta", Rhoma bilang / hidup tanpa cinta / bagai taman tak berbunga / Gibran pernah berkata dalam syairnya / cinta tidak menyadari kedalamannya / sampai ada saat perpisahan/ …..

Tidak hanya itu, puisi religi juga cukup mendominasi antologi ini dan bisa membuat pembaca terdiam dan merenung sejenak, misalnya saja pada koleksi puisi Nihayah Rambe, penyair yang karya sudah banyak menghiasi lembaran kolom puisi di beberapa surat kabar yang ada di Medan ini, punya puisi andalan yang menceritakan dahsyatnya peristiwa Kiamat hanya dengan sekali tiupan. "Tiupan Dahsyat I dan Tiupan Dahsyat II", adalah judul puisi wanita yang juga sebelumnya pernah menerbitkan buku antologi puisinya yang pertama berjudul "Tinta ini Cinta Pertama".

Tema puisi lainnya yang turut mendominasi buku antologi puisi yang diterbitkan oleh Format Publishing ini adalah tema sosial, tak heran jika seorang penyair cukup memiliki rasa peka luar biasa terhadap sekitar sehingga dengan puisi, mereka bisa menyuarakan fenomena sosial dengan cara yang lebih elit namun sedikit menyentil nurani siapa saja yang membaca. Ada puisi karya Amrin Tambuse yang berjudul "Jangan Tanya, Adikku" dan "Di Lumbung Laparku", tentang kondisi negeri ini dan juga ada koleksi puisi bertema sosial dari Ratna Dwi, sejumlah puisinya diperoleh dari pengamatannya terhadap kondisi masyarakat yang menggedor-gedor saraf puisinya, seperti puisi yang berjudul "PKL" tentang pedagang kaki lima yang harus berurusan dengan Kamtibnas, "Emas di Negeri Orang" yang ide puisinya diperoleh dari pemberitaan seputar nasib buruk TKI di luar negeri dan masih banyak lagi.

Lalu bagaimana dengan judul antologi puisi FLP Sumut kali ini? Judul yang cukup unik dan itu adalah salah satu judul puisi yang ditulis oleh Amisha Shahidah serta terpilih menjadi judul sampul buku setebal 196 halaman ini, puisi tersebut cukup sederhana, sebuah pendeskripsian yang sangat indah terhadap salah satu huruf hijaiyah, bahkan huruf hijaiyah pun bisa dijadikan puisi. Nuun…huruf hijaiyah kedua lima /dibalik berbentuk bulan sabit / dengan bintang berjari lima / menambah terang di sudut langit / nuun…kutulis kau di dalam hati / mengobati hatiku yang sedang sakit.

Terkadang di tengah hiruk pikuk rutinitas kehidupan, bagi jiwa-jiwa yang dingin sangat baik adanya untuk duduk tenang sejenak sambil berteman secangkir teh hangat di sebuah senja dan membaca puisi khususnya puisi yang terdapat buku Antologi Puisi " Nuun" ini, sehingga dengan begitu perlahan demi perlahan ada kehangatan yang mengalir diam-diam ke dalam jiwa Anda.

Penulis adalah mahaiswa IAIN Fak Tarbiyah, dan Sekum FLP Sumut. (nurul fauziah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar