Rabu, 26 Januari 2011

KRITIK SASTRA

SEPERTI dikatakan banyak orang, kritik sastra selain sebagai penghakiman terhadap sebuah karya sastra, namun dia sangat dibutuhkan. Kenapa? Karena kritikik sastra sebuah pembelajaran bagi penulisnya sendiri, juga sebagai pembelajaran bagi pembaca dan peminat sastra itu sendiri.

Chairil Anwar, tidak akan pernah dikenal jika H. B. Jassin tidak membedah dan mengkiritik puisi-puisinya. Aku-nya Chairil Anwar tidak akan pernah menjadi apa-apa, jika H. B. Jassin tak mengungkapkan bagaimana Chairil justru mengobrak-0brik Bahasa Indonesia.

Bukan berarti kritikus sastra justru menjadi hakim bagi penyair, cerpenis dan penulis karya sastra lainnya. Tidak. Ada juga kritikus sastra yang tidak objektif. Mereka justru membunuh si pesastra itu sendiri. Kenapa, karena apa yang ditulis oleh sang kirtikus, justru menjadi pegangan kuat bagi pembaca dan peminat sastra lainnya.

Bagaimana dengan Sumatera Utara? Dulu, almarhum Herman Ks, orang yang paling dekat dengan para penulis muda. Herman banyak mengapresiasi, mengkritik karya-karya orang muda. Selain itu, Herman memberikanmasukan yang berharga bagi para penulis pemula, membuat penulis pemula menjadi semakin bersemangat untuk menulis.

Dari kalangan muda, pernah ada Mihar Harahap dan Ikhwan AR (sekarang Dr. Ikhwan Azhari) yang sangat apresiatif terhadap penulis muda dan membakar semangat mereka untuk terus menulis. Ketika kaum tua -dulu ada kelompok kaum tua dan kelompok kaum muda- mengkirityk bahkan membunuh kaum muda, Ikhwan AR dan Mihar Harahap bangkit membela kaum muda. Bukan sampai di situ, Ikhwan AR dan Mihar Harahap sebaliknya justru mengeritikhabis-habisan karya-karya kaum muda. Bahkan ada seprang penyair senior yang tak berani lagi menulis, karena tajamnya kritik Ikhwan AR ketika itu.

Bagaimana sekarang?

Ada yang mengatakan, untuk apa lagi kritik sastra? Para redaktur adalah kritikus utama dan pertama, yang menentukan dimuat atau tidaknya karya sastra di koran/majalah. Kritikus kedua adalah pembaca. Apa yang dikatakan itu ada benarnya. Perlu diingat, kalau redaktur selain apa yang diangaponya baik, juga apa yang sesuai dengan warna media yang "dijaganya". Media tak terkelepas dari "jualan", karena media juga adalah
industri.

Bagaimana dengan pembaca? Benar, pembaca adalah kritikus tingkat akhir dari sebuah karya sastra. Hanya saja perlu diingat, apakah semua pembaca karya sastra mengerti akan sastra? Pembaca hanya membaca, kemudian dia dapat menikmatinya saja. Pembaca tentu tidak akan mengetahui sejauh mana seluk-beluk sastra.

Kemudian ada lagi yang mengatakan, untuk apa mengetahui seluk-beluk sastra dengan sejuta teori. Ketika membaca sastra, pembaca tidak perlu tahu tentang teori sastra. Bagi pembaca, karya itu bisa dia mengerti dan mampu dinikmatinya. Untuk apa teori-teori, tapi pembaca tidak mengerti apa yang dia baca?

Perlukah teori sastra atau tidak, kini sedang hangat dibicarakan, baik di Medan bahkan di berbagai kota di Jakarta dan kota-kota lain di Jawa. Sebenarnya, perlu tidaknya, tergantung siapa yang mengatakan. Jika para kaum akademiisi, terlebih para mahasiswa fakultas sastra, pasti mereka mengatakana perlu. Sejauh mana kepentinagan masing-masing.

Menurut hemat penulis, kritik sastra itu sangat perlu, agar penikmat sastra juga bisa memahami apa dan bagaimana karya sastra itu. Sementyara bagi para akademisi, terutama para mahasiswa fakultas sastra kritik sastra itu memang sangat penting, karena mereka mempelajarinya dei bangku kuliah.

Bagi penulis, kritik sastra di Sumatera Utara memang sangat kurang. Tidak seperti tahun 1970-an dan 1980-an. Maraknya sastra di dua dekade itu, karena maraknya kritik sastra, membuat para pekarya sastra juga menjadi dinamis. Dengan adanya "perlawanan" kaum tua dan kamum muda ketika itu, dinamika sastra di Sumatgera Utara khususnya Medan demikian hangat. Terlebih ada ungkapan dari kalangan kaum tua (baca senior) yuang mengatakan:" sastrawan muda itu sangat cengeng, karenanya dibunuh saja."

Membaca pernyataan itu, kaum muda menjadi "marah" dan bangkit. Penulis yakin, kalau ucapan itu bukan sebuah unsur kemarahan. Kitya anggap saja, ungkapan kaum tua ketika itu, sebagai sebuah campuk bagi kaum muda untuk bangkit. Ruang remaja & pelajar di berbagai koran pun serentak bangkit menulis, melakukan perlawanan terhadap kaum tua. Ada abrakadabra, ada ruang remaja Analisa dan berbagai koran memuat tulisan-tulisan yang intinya melawan kaum tua.

Almarhumm Herman Ks, tetap pada pendiriannya. Dia tetap netral dan sangat menghargai karya-karya anak muda. Sesekali, dia juga mengkritik karya teman-temannya seangkatan, kemudian membela kaum muda dan menyalahkan kaum tua. Herman Ks, kini telah tiada. Sebenarnya kita berharap untuk Medan (Sumatera Utara) ada Herman Ks yang lain yang mau dekat dan memberikan apresiasi terhadap kaum muda, untuk membakar semangat kaum muda untuk terus berkarya.

Dengan demikian, penulis mengatakan, kalau kritik sastra yang membangun dan netral itu sangat perlu, tentu juga dengan memakai teori kritk sastra, agar para penikmat sastra tidak tersesat di hutan sastra yang rimbun. Idris Pasaribu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar