Rabu, 26 Januari 2011

Medan Perlu Membangun Gedung Kesenian yang Bagus dan Modern

Ali Soekardi

Walikota Medan Rahudman Harahap mengatakan, permintaan atau usul beberapa seniman Medan agar Pemko menyediakan tempat untuk wadah berkumpul kaum seniman bukanlah permintaan yang sulit. Sekarang juga permintaan itu dapat dipenuhi.

"Gedung City Hall di komplek Aston Hotel dapat digunakan para seniman untuk tempat berkumpul," tegas Rahudman.

Yang dimaksud adalah gedung bekas Kantor Walikota Medan di Jalan Balai Kota yang sekarang telah direnovasi menjadi lebih indah dan bersih, namun bentuknya yang asli tidak berobah, bersamaan dengan berdirinya Hotel Aston, hotel berbintang lima.

Walikota menyatakan hal itu ketika memberikan kata sambutan pada acara peluncuran buku Ini Medan, Bung di Medan Club Jalan Kartini Medan, Sabtu 13 November yang lalu. Pernyataannya untuk menyambut atau menjawab usulan seorang wartawan/penulis buku IzHarry Agusjaya Moenzir, cucu pakar Bahasa Indonesia alm. Madong Lubis ini mengatakan, sesungguhnya permintaan para seniman itu tidak banyak-banyak dan tidak susah-susah. Kaum seniman hanya membutuhkan sebuah tempat untuk bisa mereka gunakan sebagai pos. Di tempat itu mereka bisa saling bertemu, berkumpul, bercanda, sekaligus juga tempat mendiskusikan karya-karya seni mereka. Bahkan juga tempat berkarya. Positif sekali memang.

Sebenarnya tempat berkumpul kaum seniman di Medan itu sudah ada, yaitu di Taman Budaya di Jalan Perintis Kemerdekaan. Di situ boleh dibilang agak lumayan juga. Ada gedung tempat pertunjukan (biasanya pagelaran drama/teater), tempat pameran, tempat berdiskusi, dan lain sebagainya. Hanya saja mungkin, bangunan-bangunan tersebut sudah "ketinggalan zaman". Perlu direnovasi.

Bopet Tinggi

Saya jadi terkenang pada tahun 1950-an dan 1960-an di Medan juga tidak ada tempat resmi berkumpulnya kaum seniman ini. Namun bukan berarti mereka tidak sering bertemu di luar ada aktivitas berkesenian. Tentu ada, meskipun tidak seperti Seniman Senen di Jakarta. Salah satunya adalah Bopet Tinggi. Yang dimaksud adalah sebuah rumah panggung yang besar dan merupakan kedai kopi. Letaknya di Jalan Sutomo persimpangan Jalan Merbabu (sekarang ruko).

Di Bopet Tinggi inilah bila sore hari selalu berkumpul kaum seniman. Ada karikaturis dan pengarang cergam (cerita bergambar) seperti Taguan Hardjo (alm), ada Abd.Aziz Harahap (wartawan merangkap pemain drama), Edisaputra (penulis skenario film), terkadang ada juga orang film dari Radial atau Refic (Rencong Film Corp). Ya, dulu di Medan ada beberapa perusahaan/produser film. Ah, pokoknya banyaklah seniman berkumpul di Bopet Tinggi sambil minum kopi dan makan gorengan atau sate padang sambil ngoyok tak putus-putusnya.

Dulu di Jalan Canton (sekarang Jalan Surabaya) di tengahnya ada deretan kios. Pada sore hari jalan ini selalu ramai oleh pengunjung, selain ingin berbelanja, menonton bioskop (dari ujung ke ujung ada 4 bioskop : Capitol, Kok Tay, Morning dan Orion), ada yang sekedar cuci mata mengincer "barang" (istilah cewek di masa itu).

Nah, di antara sekian banyak kios yang menjual berbagai macam barang, juga ada kios tempat menjual buku dan majalah (media massa). Ada toko buku Bachtera, ada NBS (National Book Store, yang menerbitkan serial roman detektif Kejora), ada pula ATB (Achmad Toko Buku) .

Nah, di kios-kios buku inilah, terutama Bachtera, setiap sore hari (senja) berkumpul para seniman/sastrawan yang ketika itu "merajai" media massa (terutama edisi Minggu) dengan karya-karya mereka. Di sini biasa berkumpul mereka yang tergabung dalam GSM (Gabungan Sastrawan Muda) pimpinan Bokor Hutasuhut, seperti penyair A.Wahid Situmeang, cerpenis Partahi Sirait, Ali Soekardi, MS Derita, Abdul Aziz’s, pelukis Chaidir Sutan (abang alm. Burhan Piliang), terkadang muncul Ibrahim Sinik (sekarang tokenya harian Medan Pos), dan lain-lain lagi.

Seniman tari dan nyanyi serta dramawan selalu berkumpul di Gedung Kesenian yang letaknya di ujung Jalan Veteran (dulu Jalan Bali) dekat Titi Gantung. Gedung itu dulu pernah menjadi bioskop namanya Oranje, tapi sekarang telah menjadi vihara.

Di Gedung Kesenian yang teramat sederhana itu pernah menjadi tempat berlangsung Kongres Bahasa Indonesia II yang peresmiannya dibuka oleh Presiden Soekarno. Para seniman tari selalu berlatih menari di gedung itu dengan tari-tarian daerah. Terutama tarian Melayu Serampang XII yang saat itu sedang digalakkan sebagai tarian pergaulan. Pimpinannya Sayuti, guru tari dan penari kawakan. Seorang wartawan muda ketika itu pernah menjadi "jago" Serampang XII, yaitu Edie Elison Kr.

Tapian Daya

TAHUN 1969 Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin, mengundang 14 orang wartawan Medan yang anggota PWI, termasuk saya, untuk meninjau pembangunan Ibukota. Salahsatu yang ditinjau adalah TIM (Taman Ismail Marzuki) tempat seniman Jakarta setiap hari berkumpul, berdiskusi, berdebat, mengobrol, berkarya dan mengadakan pagelaran.

Terus terang kami kagum, karena pusat kesenian itu serba lengkap saat itu. Dalam tulisan laporan para wartawan di media masing-masing sepulang dari Jakarta, juga mengusulkan agar Pemerintah Daerah Sumatera Utara, juga Pemerintah Daerah Medan membangun semacam TIM Jakarta itu di Medan.

Entah karena usulan ini entah bukan, tapi Gubernur Marah Halim bersama Walikota Medan Sjoerkani dalam membangun kota Medan juga mendirikan pusat kesenian. Itulah Tapian Daya (Taman Pusat Kesenian dan Kebudayaan) yang boleh dibilang serba lengkap juga. Ada panggung pertunjukan, ruang pameran, panggung terbuka, bioskop, dan sebagainya. Petinggi Sumut dan Medan itu berharap proyek ini dapat dimanfaatkan para seniman Medan, bahkan Sumut, untuk mengisinya dengan aktivitas seni, dan kreasi kesenian.

Hal ini memang terlaksana. Bahkan FFI (Festival Film Indonesia) 1975 yang bersifat nasional itu banyak kegiatannya dilaksanakan di Tapian Daya, termasuk memutar film terbaik pemenang FFI Senyum di Pagi Bulan Desember (karya Wim Umboh). Memang Tapian Daya kemudian digunakan oleh seniman Medan untuk berkumpul berkesenian. Tapi tidak lama, karena kemudian para seniman meninggalkannya. Dan sunyilah TIM-nya Medan, hanya ada bioskop. Itupun tak lama. Mati. Sekarang tempat itu hanya untuk melaksanakan Pekan Raya Sumut (Medan Fair) atau tempat promosi perdagangan.

Seniman panggung (drama/teater) waktu itu dapat manggung di berbagai gedung, selain Gedung Kesenian (Jln.Veteran), juga ada panggung Balai Perajurit di Jln.Pos (sekarang Bank BCA) dekat Kantor Pos Besar, ada gedung Balai Polisi Jln Bedagai, yang agak bergengsi tentu di gedung Selecta di Jln.Listrik (bukan gedung Selecta yang sekarang, tapi Selecta yang lokasinya di sebelah Pendam I/BB, sekarang tanah kosong). Grup drama Bokor Hutasuhut sering manggung di Selecta ini.

Sedang grup Teater PWI Sumut selalu latihan dan manggung di aula Pendam. EWP Tambunan ketika masih menjadi Kastaf Kodam II/BB (sebelum jadi Gubsu) sering datang saat "aktor" PWI itu latihan, memberi arahan, dan sama-sama minum kopi makan goreng pisang/ubi di warung pinggir jalan). Sekarang tak ada pejabat seperti dia.

Modern

SAYA tak tahu apakah tawaran Walikota Rahudman Harahap telah dilakukan seniman Medan menjadikan gedung Balai Kota (lama) sebagai tempat berkumpul. Tapi sebaiknya Pemko Medan (apakah di bawah Rahudman Harahap atau walikota lainnya) memikirkan dan berusaha membangun sebuah Gedung Kesenian yang representatif, bagus dan modern, sesuai dengan perkembangan zaman. Dapat tempat pagelaran kesenian yang berkualitas baik dari dalam maupun luar negeri. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar