Rabu, 26 Januari 2011

Kritik Sastra (Lokal), Benarkah di Menara Gading

Yulhasni

Karya sastra tidak ada artinya tanpa kehadiran kritik sastra. Kritik sastra bahkan menjadi satu bagian penting dalam ilmu sastra, selain teori sastra dan sejarah sastra.

Begitu pentingnya kritik sastra, sehingga cabang ilmu sastra ini tetap jadi pilihan utama dalam upaya menjembatani karya sastra dengan pembaca. Abrams dalam Pengkajian Sastra (2005: 57) mendeskripsikan, kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan dan penilaian karya sastra.

Harus diyakini, praktik kritik sastra, akhirnya mengalami pendangkalan ketika aplikasinya melenceng dari hakikat kehadirannya. Konsep William Henry Hudson yang menyebut kritik sastra sebagai penghakiman, akhirnya menjadi pilihan utama. Mungkin itulah yang menyebabkan Damhuri Muhammad dalam buku Darah-Daging Sastra Indonesia (2010) menuding ada jenis “kritikus sastra serupa hama tikus perusak tanaman di ladang sastra.”

Pada tempat lain, kehadiran kritik sastra dalam ranah sastra Indonesia, semakin hari kian menyedihkan. Tulisan Sakinah Annisa Mariz di harian ini berjudul ’’Kritik Sastra Indonesia (Mutakhir); Benarkah di Ambang Kepunahan?’’ (Analisa, 19/12) menarik untuk kita cermati, sebagai sebuah wacana akademik yang brilian dan berani menerobos sekat-sekat pembatas senior-junior dalam konsep dan pemikiran.

Apresiasi positif patut diberikan kepada kemampuan Sakinah membuka wacana kritik sastra ini, dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa semester III di Universitas Negeri Medan (Unimed). Satu bagian yang mengusik saya, tentang kesenjangan sosial antara akademisi dan sastrawan, yang menurut Sakinah harus dihapuskan. Sakinah menulis: seorang akademisi sastra juga berkewajiban untuk berpartisipasi dalam acara-acara sastra non-akademis. Untuk ini, diperlukan data kuantitatif, jika hendak merumuskan sebuah wacana tentang kritik sastra.

Saya menggarisbawahi kata ‘akademisi’. Boleh jadi, spektrum pikiran Sakinah menukik ke arah yang jelas: masyarakat kampus yang berkutat dengan seperangkat teori-teori sastra, tapi ‘alergi’ dengan dinamika perkembangan sastra itu sendiri. Jika Sakinah tidak (belum) berani mengarahkan pedang analisisnya ke kampus yang ada di Sumatera Utara ini, mungkin banyak faktor yang menghambatnya. Tetap ide dan pikiran Sakinah, perlu jadi wacana kesusasteraan di tingkat lokal.

Kadangkala kesenjangan yang dimaksud Sakinah tidaklah sebegitu dahsyat jika hanya merujuk pada batas-batas keikutsertaan kaum akademik dalam dinamika sastra atau sebaliknya sastrawan yang masuk ke ranah akademik. Pada bagian tertentu, jika dicermati terdapat praktik simbiosis mutualisma dalam ranah perkembangan kesusasteraan di daerah ini, antara sastrawan dan akademisi.

Di Sumatera Utara terdapat beberapa universitas dengan fakultas yang memiliki ilmu konsentrasi sastra seperti USU, Unimed, UMSU, UISU, UMI, UDA dan Nonmensen. Jika hendak menukik ke akar persoalan, pertanyakan kepada kaum akademis di kampus tersebut, di mana mereka berada. Ini bukan persoalan mau atau tidak mau. Ini hanya sebuah pertanggungjawaban akademis atas apa yang mereka sebut sebagai ahli sosial, khususnya ahli sastra.

Sejak lama wacana tentang kaum akademis yang berada di menara gading menggelinding dalam ranah kesusasteraan di daerah ini. Mungkin hampir belasan tahun sudah, kita tidak mendengar sebuah hajatan besar dari kaum akademis di daerah ini dalam usahanya memperkenalkan karya lokal ke masyarakat.

Hajatan besar dalam arti yang secara khusus melakukan kajian mendalam terhadap sastra lokal, baik lewat metode seminar, workshop maupun bentuk wacana akademis lainnya. Mungkin ada beberapa dari individu yang melakukannya, namun gaungnya tenggelam oleh hiruk pikuk perkembangan kesusasteraan di daerah ini.

Kita memberi apresiasi positif (untuk menyebut beberapa diantaranya) kepada beberapa masyarakat kampus yang masih memberikan pemikiran atas dinamika perkembangan sastra di Sumatera Utara. Sebut saja nama Prof. DR. Ikhwanuddin Nasution (Guru Besar FS USU), Drs. Antilan Purba, M.Pd., (Dosen Unimed), dan Drs. Mihar Harahap (Dosen FKIP UISU). Semasa masih hidup, Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S., juga orang yang rajin memberikan apresiasi dan penilaian terhadap karya sastra lokal.

Saya akhirnya menjadi mafhum ketika YS Rat yang sarjana hukum itu, harus merelakan dirinya mewakili ‘kaum akademis’ demi sebuah usaha menilai perkembangan sastra (khusus cerpen) di daerah ini. Beberapa tulisan dari sastrawan yang berprofesi wartawan yang dimuat di rubrik Rebana ini mencerminkan keinginannya untuk tetap ‘memperkenalkan’ karya sastra ke publik. Hal serupa juga dikerjakan oleh Darwis Rivai Harahap lewat sejumlah ulasannya berkaitan dengan teater.

Barangkali dalam perkembangan kesusateraan di daerah ini, khusus pada aspek kritik sastra, kita perlu menyimak pendapat tokoh New Criticism J.C Ranson berpendapat, yang berkompetensi melakukan kritik, yakni seniman, ahli filsafat dan para akademisi sastra. Dari ketiganya, menurut Ranson, para akademisi sastralah yang kritiknya bisa dipertanggungjawabkan.

Ini senada dengan tulisan Sakinah mengutip pendapat Ronan McDonald dalam bukunya “The Death Of Critic” yang dikaji ulang Arif Bagus Prasetyo, kritikus itu orang yang bobot pendapat ataupun penafsirannya terhadap sebuah karya seni, lebih istimewa. Pendapat ini tentu saja harus didukung oleh fakta yang diperoleh dari konsep dan gagasan yang lahir. Pada batasan ini, agaknya Sakinah perlu membuat satu tataran penelitian yang komprehensif dalam usaha mengukur derajat kesenjangan yang dimaksud.

Kesenjangan mestinya harus dilihat dari proses yang berlangsung pada perkembangan kritik sastra di daerah ini. Jika kemudian media cetak sebagai titik awal pembahasan, perlu diperbincangkan apakah koran adalah wajah dan perwakilan perkembangan kritik sastra?

Bukankah lembaran koran hanya memberi ruang ’apresiasi’ bukan ruang kritik yang komprehensif? Memang diperlukan suatu studi komprehensif, untuk membuktikan tesis Jakob Sumardjo yang mengatakan, tidak lahir kritikus berwibawa dari kampus karena kaum akademik adalah kritikus intelek artificial yang merupakan pengikut setia dewa-dewa teori dari kebudayaan seberang yang tidak berani mengatasnamakan pikirannya sendiri.

Kelemahan paling mendasar kita adalah ketidakmampuan mengakses segala bentuk publikasi ilmiah masyarakat kampus dalam konteks kritik sastra. Hal ini muncul sebagai akibat publikasi ilmiah yang telah dikerangkeng sedemikian kuat, sehingga pencipta sastra tak mampu menembus sekat-sekat pembatas itu.

Hal lain, pencipta sastra di daerah ini juga telah membentuk sekat-sekat baru, sehingga masyarakat akademis enggan menyentuh wilayah penciptaan sastra. Sebagai orang yang sekarang mencoba berposisi sebagai masyarakat kampus, saya memang harus berlapang-lapang dada untuk meyakinkan kaum akademik lainnya bahwa di Sumatera Utara penciptaan sastra makin berkembang pesat. Untuk kemajuan kritik sastra (lokal) perlu jembatan yang menghubungkan antara pencipta sastra dan akademisi.

Setidaknya, saya mengapresiasi pendapat Sakinah Annisa Mariz yang nota bene masih semester III, sudah mampu aku jadi greget. Kita semua tentu berharap, orang-orang muda seperti Sakinah mampu memberikan pendapatnya yang bagus. Awal tahun 1980-an, Ichwan AR, kini bernama Dr. Ikhwan Azhari, ketika seusia Sakinah, sudah mampu menggegerkan para sastrawan senior di Sumatera Utara.
Penulis; Dosen Sastra Indonesia FKIP UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar