Rabu, 26 Januari 2011

Petawaf Sunyi di Kota Terkorup

Tandi Skober

Hasil survei KPK dalam bentuk Indeks Integritas Nasional (IIN) 2010 menunjukkan bahwa integritas pelayanan Pemerintah Kota Medan dinilai paling jeblok, yakni 4,44.

Itulah sebabnya KPK akan melaunching, melakukan survei penilaian inisiatif antikorupsi kepada pemerintah. "Ini untuk mengukur, apakah pemerintah sudah berinisiatif melakukan antikorupsi," ujar Chandra. (Tribun News 9/11)

"Prihatin? Tentu. Tapi itulah sudah," ucap saya ketika menghadiri launching buku sastra "Ini Medan, Bung" di Medan Club (13/11). Ada isyarat mencuat di tengah launching bahwa dari sebuah karya sastra Medan akan kembali pada ruang steril bebas korupsi. Bila benar, ternyata karya sastra tidak cuma pembuka jendela dunia, juga pintu masuk pemuas syahwat anomali politisi, birokrat dan sastrawan. Bila politikus identik dengan anekdot si kombur ‘teh tong nyaring bunyinya’. Terus, birokrat dikenal sebagai penari tor-tor ‘ada uang terselip di jemari sayang’ Maka sastrawan lebih dikenang sebagai petawaf sunyi di lingkar kolbu iluminasi.

Hal yang tiga itu, dalam ruang peradaban Medan ditengarai telah tersekat gelap di sebuah ruang pengap. Terasing di pulau-pulau pemberhalaan ideologi yang dibentuk oleh takdirnya masing-masing. Sinerji menjadi peti mati. Medan pun seperti sebuah pesakitan di atas brankar bergerak menuju ruang bedah yang pucat. Untuk itu butuh persetubuhan idea yang ditautkan di belantara perumitan antar kepentingan. Sekat-sekat egosentrisme kudu dirubuhkan. Hingga tak aneh manakala dari ‘senggama kultural’ itu lahirlah perahu lancang kuning berlayar malam.

Perahu itu bernama "Ini Medan, Bung" (IMB). Adalah sebuah bunga rampai kegelisahan sastrawan Medan Izhary Agusjaya dan kawan-kawan, Politisi Rahmat Syah dan Walikota Medan Rahudman Harahap. IMB adalah dialog kebatinan sastrawi "Mirip teh tong sekadar pelepas dahaga," tutur anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr H Rahmat Shah, saat acara peluncuran buku tersebut di Medan Club (13/11)

Rahmat bisa jadi benar. Maklum Medan kini sedang dirundung citra buruk. Buruk rupa cerminpun dicuri. Lihatlah petilasan sejarah yang digusur, fenomena akronim SUMUT ‘segala urusan mesti uang tunai’, telunjuk tangan KPK yang terus terarah pada birokrat Medan, tata kota yang terjebak kepentingan sesaat hingga tangan-tangan tersembunyi di balik punggung bernama premanisme. Tak pelak saat Dalian Natolu ––sastrawan, politikus dan birokrat— bercermin mematut diri secercah harapanpun muncul. Dalam orasi kebudayaan, Nuim Khaiyat penyiar Radio Australiapun bersyair:"Hitam-hitam si tampuk manggis/bunga kemuning harum baunya/biar hitam kupandang manis/putih kuning tak ada gunanya."

Apa artinya? Dilema Medan tidak bisa diurai melalui warna-warni politik putih, kuning, biru merah dan entah apalagi. "Putih kuning tak ada gunanya" Kenapa? Sastrawan selalu berputar pada rotasi risau pembaruan. Di dataran ini, mereka itu tak pernah berhenti tawafi sistem dan nilai-nilai baru holistisme. Bergerak menapaki prospeksi demi prospeksi. "The movement of the progresive societies has hithero been a movement from status to contract"

Idiologi kolbu khas sastrawan ini tentu tidak seperahu dengan ruang nalar kalangan birokrat. Kalangan birokrat lebih mengapresiasi indeks pertumbuhan manusia dalam lingkaran matrik angka. Tak pelak, tanah air peradaban lancang kuning pun berlayar di samudra ecek-ecek. Ketika pena sastrawan lebih tajam dari tongkat komando birokrat dan berteriak bahwa "Corruption optime pessima", birokratpun luncurkan testimoni:" Suara sastrawan adalah suara gombal para penggembala moral yang menyeret peradaban pada puncak abad barbarisme.

Itulah Medan, Bung! Sosok aneh yang dengan cara aneh kerap diposisikan sebagai peradaban yang bergerak dalam ruang gelap. Hanya orang yang bisa melihat dalam gelap yang bisa mengkalkulasi ke mana arah angin berhembus. Tak jelas, apakah disebabkan hal ini ketika Ramadhan 1430 H di sebuah Restoran Natrabu Jakarta sastrawan Medan buka bersama. Yang pasti, usai shalat Magrib di musholah lantai dua, sastrawan Asro Kamal Rokan alirkan doa lirih. Ia berharap agar ide para sastrawan Medan Izhary Agus Jawa, Neta S.Pane, Iwan Lubis, Rizal Siregar, R Mulia Nasution, Tandi Skober, Tatan Daniel Foeza Hutabarat dan entah siapa lagi untuk membuat buku bunga rampai tentang Medan bisa diwujudkan. "Lancang kuning berlayar malam," bisik Asro, "Rinduku pada Medan teramat dalam."

Doa Asro dikabulkan Allah. Terbitlah dua buku bunga rampai "Akulah Medan" dan" Ini Medan, Bung" IMB berisi limapuluh karya sastra berupa puisi, cerita pendek dan esay bercerita tentang Medan. Terus? Nuim Mahmud Khaiyat, H Anif dan Rahmat Shah mengapresiasinya sebagai pelangi di Sungai Deli ketika Medan dirundung duka. Ini langkah kecil sekaligus pembuka pintu menuju peradaban Medan yang mencerahkan. Juga IMB adalah dialektika kebudayaan yang mengisyaratkan bahwa ‘Ini Medan, Bung" bukan cuma slogan kacangan. Soalnya,"Kota Medan tidak hanya dilihat dari aspek historisnya akan tetapi juga dinamika kemasyarakatan yang senantiasa menjadi tolak ukur dalam kancah perpolitikan dan pembangunan Indonesia," ungkap Rahmat Shah.

Apresiasi terhadap luncuran IMB pun mencengangkan. Siang itu, Walikota Medan Rahudman Harahap meluncurkan IMB. Sahabat saya penyanyi Melayu Deli Rani Dahlan berdendang riang "Lancang kuning berlayar malam". Di atas panggung, lihatlah Sastrawan, politisi dan dan birokrat rindukan Medan berkain sejarah. Orasi nostalgia Medan pun bertaburan. Tapi ya itu tadi: sejarah Medan kadang bagai album penuh debu. Kita cuma bisa memandang dari ruang yang gelap. Kita cuma bisa melangkah tawafi suara risau dari masa lalu. Tapi kita selalu saja merunduk skeptis "Apa yang paling indah dan mulia yang pernah dimiliki Medan, kini mengucurkan risau karena kebiadaban kita. Siapa yang harus menghapus risau dari tangan kita ?"

Entahlah, awak tak tahu itu.Yang pasti, siapa bisa menyangkal bahwa transformasi iluminasi di era globalisasi dan demokratisasi pada akhirnya hanya bisa membuat manusia Medan seperti adonan yang bisa dicetak, diarahkan dan dibonsaikan. Bila sudah begini, akhirnya yang ada hanya krisis.

Saya menghela nafas. Suara risau Asro Kamal Rokan di musholah Natrabu saat Ramadhan 1430 H juga tercermin di cerpen Bahpit, ‘Ini Medan Bung’ halaman 94: Di Jalan truk menderu/sebutir kerikil jatuh/menggelinding/kemudian menepi/Truk terus melaju." Akankah usai launching, sastrawan Medan juga bernasib seperti kerikil yang diisyaratkan petawaf sunyi Asro Kamal Rokan? Entahlah. Toh truk bernama Medan itu bergerak zig-zag. Lihatlah, di atas truk para koruptor tebarkan deret derita tak terukur.***

Penulis adalah Dewan Penasihat Indonesia Police Watch

Tidak ada komentar:

Posting Komentar