Kamis, 27 Januari 2011

Masih Bibir Umpama Buah Delima?

Hasan Al Banna

Kalau sekadar mempererat hubungan penyair ‘Melayu Serumpun’ antarnegara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Kamboja dan Singapura), hajatan Pertemuan Penyair Nusantara IV (PPN IV) yang berlangsung di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 16-18 Juli lalu boleh dikatakan berhasil menunaikannya.

Namun, adakah PPN IV berfaedah langsung bagi perkembangan estetika hasil sastra (puisi) negara-negara kawasan Asia Tenggara tersebut? Agaknya harus menempuh jalan yang berliku, licin dan curam. Lantas, harapan untuk memuliakan bahasa (Melayu) melalui sastra masih akan berpusar pada tataran wacana yang keruh.

Selama tiga hari kegiatan tersebut berlangsung di Bangunan Persatuan Guru-guru Melayu Brunei, Radio Televisyen Brunei (RTB) dan Kompleks Bangunan Yayasan Sultan Haji Hassanal Bolqiah. PPN IV diikuti lebih dari 100 penyair dari kawasan Asia Tenggara. Indonesia mengirimkan penyair paling banyak, termasuk penulis dan A. Rahim Qahhar (Medan).

PPN IV dikawal oleh Asterwani Brunei Darussalam bekerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam. Tidak banyak berubah dari kegiatan yang sebelumnya, PPN IV masih diisi dengan acara diskusi sastra, baca puisi dan temu ramah.

Kegiatan senapas ini bermula di Medan (Indonesia) dengan tajuk Pesta Penyair Nusantara I, 25-28 Mei 2007. Selanjutnya nyawa kegiatan ditiupkan ke Kediri (Indonesia) dengan membentangkan peristiwa Pesta Penyair Nusantara II, 29 Juni -3 Juli 2008. Lantas, tahun 2009 lalu, Pertemuan Penyair Nusantara III di Kuala Lumpur (Malaysia), 20-22 November.

Namun, sampai pada pelaksanaan PPN IV di Brunei, percakapan yang menukik kepada pendongkrakan kecemerlangan karya masih jauh dari jangkauan angan. Boleh jadi, forum PPN tidak lebih dari ritual reuni belaka.

Apa yang diungkapkan Ahmad Suyubbanuddin Alwi (penyair Indonesia) dalam forum diskusi patut direnungkan. Alwi menyarankan agar forum PPN menyediakan ruang yang lapang bagi keberlangsungan apresiasi karya, bukan semata berkutat pada wacana dangkal sekaligus pragmatis: mari mengangkat martabat sastra! Paling tidak, menurut Alwi, forum PPN harus berani mengusung karya-karya penyair yang dinilai mengundang, apalagi mengandung kemilau.

Namun bagaimana hendak meninggikan harkat karya, sementara kadar cita-rasa sastra mutakhir senantiasa luput dari sengit perbincangan. Memang, lazimnya, muara dari kegiatan ini tidak boleh membelot jauh dari kisaran: bagaimana caranya agar kualitas karya sastra makin berminyak. Apalagi PPN IV di Brunei mengelu-elukan nasihat, bahwa penyair tidak boleh mengasingkan diri, bahkan sebaliknya senantiasa bertemu, berbincang dan bertukar pandangan dalam meningkatkan mutu penulisan dan terus berusaha memberikan sumbangan kepada kemajuan bangsa dan negara. Nasihat ini menjadi begitu ‘megah’ jika merujuk kegiatan yang kering dari proses apresiasi hasil karya para penyair.

Mutu tulisan adalah kata kunci! Apalagi ketika kerumunan penyair di negara-negara Asia Tenggara sepaham untuk lebih mendekatkan sastra kepada khalayak, khususnya generasi muda. Namun, benturan budaya yang dialami generasi muda, mau tidak mau, telah menerbitkan keinginan-keinginan baru, yang kalau tidak disikapi dengan kedinamisan karya, tentu akan diterlantarkan.

Karya yang benderang adalah karya yang senantiasa bergerak, memantul dan bergumul dengan keberlangsungan zaman. Tentu, perjalanan estetika karya tidak boleh statis, atau bahkan merasa mapan pada letak duduk yang itu-itu juga.

Sebenarnya, apa yang dipaparkan Prof. Dr. Siti Zainon binti Ismail (Malaysia) dalam Tazkirah Puisi (semacam Orasi Puisi) layak disikapi dengan arif. Zainon mengungkapkan bahwa, “sastra menggerakkan manusia untuk berpikir dan seterusnya bertindak ke arah kesempurnaan.” Boleh jadi, pernyataan tersebut mengibaskan isyarat bahwa penyepuh karya (penyair) juga harus setia mengerek hasil ciptanya ke menara kesempurnaan.

Ya, kesempurnaan yang tentu menagih pergulatan tiada henti dari para penyair. Bukankah, seperti yang juga dinyatakan Zainon dalam Tazkirah-nya: “manusia diberi akal dan jiwa, ditambah lagi kemauan dan usaha”. Namun, ada hal yang ‘menarik’ pula di sela-sela Tazkirah Puisi Zainon. Beberapa baris pantun kerap dilontarkan Zainon sebagai penyela Tazkirah yang ‘anggun’, tetapi sarat pesan.

Bait-bait pantun, mesiu yang melimpah dalam sastra Melayu, mengalir lancar dari mulut Zainon. Namun, mengapa pantun masa ini adalah pantun yang tidak berani berganti gaun? Mengapa, misalnya, pantun yang melukiskan rekah bibir (seperti yang dipaparkan Zainon) masih juga menggunakan metafora “seperti buah delima”?

Tiadakkah metafora lain untuk bibir yang merekah sebagai wujud pergulatan dan usaha manusia (penyair) yang berpikir ke menara kesempurnaan. Dalam konteks yang lebih padat, kesempurnaan yang dimaksud adalah akumulasi dari proses penciptaan yang terus-menerus, juga dari kedinamisan zaman yang menggelinding begitu kencang.

Ini sekadar analogi liar atau cenderung dicocok-cocokkan, mungkin. Tentu boleh diabaikan siapapun, tetapi layak juga dibiarkan bernyawa dan hidup dalam pikiran yang kritis. Analogi demikian hanya untuk memudahkan penafsiran: betapa penting meninjau ulang geriak estetika karya yang hendak ditetaskan.

Bagaimana bahan baku (bahasa Melayu) diolah-dikupas secara tekun, hingga melahirkan karya yang segar dan menyusup diam-diam ke dunia modernlah yang seharusnya gencar dilakukan. Hasan Aspahani, penyair Indonesia, dapatlah didaulat sebagai contoh penyair yang mampu membangkitkan pendaman kekayaan bahasa Melayu dalam karya-karyanya. Aspahani dinilai banyak pengamat berhasil merevitalisasi pantun, gurindam, dan pernik bahasa Melayu lain ke dalam puisi-puisinya.

Jauh sebelumnya, Amir Hamzah dan Chairil Anwar juga dianggap berhasil ‘membiakkan’ bahasa Melayu dalam karya-karya keduanya. Abrar Yusra (editor) dalam Amir Hamzah sebagai Manusia dan Penyair (1996:18) mengutip pendapat Anthony H. Johns yang mengatakan bahwa Amir Hamzah adalah penyair yang paling berhasil (finest) yang muncul di dunia Melayu di tahun-tahun sebelum perang dunia, dan yang pertama yang sepenuhnya menggali potensi-potensi Bahasa Indonesia untuk menjadi medium bagi ekspresi puitika modern.

Semangat menggali tiada henti sekaligus keinginan melonjakkan derajat bahasa Melayu yang demikian yang seyogianya dianut oleh penyair-penyair kawasan Asia Tenggara (rumpun Melayu). Namun, kalau semangat ini hanya dibiarkan tergeletak pada lantai wacana pragmatis, maka impian agar generasi muda tetap ‘tergiur’ terhadap karya sastra hanya lambai angan-angan.

Bukankah salah satu maklumat forum PPN adalah menggiatkan puisi dalam konteks melahirkan generasi yang kreatif dan inovatif? Oleh sebab itu, generasi abad modern membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar “rekah bibir bak buah delima”.

Penulis adalah sastrawan, staf Balai Bahasa Medan dan dosen luar biasa di FBS (Unimed).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar