Rabu, 26 Januari 2011

Sastra Pasca Reformasi; Bersemi Benih di Ladang Tandus

YS Rat

BUAH dari “tsunami” reformasi yang puncaknya 21 Mei 1998, ditandai lengsernya Soeharto dari tampuk kepresidenan, setelah lebih 30 tahun seakan tak hendak ditinggalkannya, juga berpihak pada dunia sastra.

Dunia politik pasca reformasi diwarnai terbukanya kesempatan nyaris bagi siapa saja ikut ambil bagian di dalamnya. Tak perlu waktu lama untuk sampai di puncak kepemimpinan. Mirip dengan ini, peluang untuk merasakan nikmatnya bercumbu dengan dunia sastra pun terbuka luas untuk hampir setiap orang.

Jika dalam dunia politik terbukanya peluang dengan mudah menggapai puncak kepemimpinan dibarengi pula besarnya potensi digulingkan, taklah demikian pada dunia sastra. Ancaman ada, tapi bukan tertuju kepada mereka yang ambil bagian bercumbu dengan dunia sastra. Melainkan kepada ladang percumbuannya: Mudah ditinggalkan!

Terutama koran harian dan mingguan, pasca reformasi pertumbuhannya sangat melejit. Tak terkecuali di Sumut. Setidaknya, hingga tahun 1990-an dari di antaranya Harian Waspada, Analisa, Bukit Barisan, Mimbar Umum, Sinar Indonesia Baru, Medan Pos, Garuda, Mingguan Taruna Baru, Dobrak, Bintang Sport Film, Demi Masa, dan Persada, plus Majalah Dunia Wanita, pasca reformasi jumlahnya pernah mencapai 50-an.

Banyaknya terbit media massa cetak -utamanya koran- itulah, tak luput juga media massa online melalui internet, telah memberi sumbangsih peluang bagi hampir setiap orang merasakan nikmatnya bercumbu dengan dunia sastra. Umumnya koran -kalaupun tak diterakan nama sebagai rubrik sastra atau budaya- menyediakan tempat publikasi untuk puisi dan cerpen. Terkadang, ada juga cerbung atau novelet.

Wajarlah, kondisi itu menampilkan pula tak sedikit nama baru pencumbu dunia sastra. Mencatatnya dari dua rubrik sastra budaya dua koran di Medan saja, Rebana dua halaman Harian Analisa dan Rentak Harian MedanBisnis terbitan setiap edisi Minggu. Ada puluhan nama baru pembuat puisi atau cerpen yang rata-rata kelahiran tahun 1980 ke atas dan karya-karyanya mulai dipublikasikan melalui media massa cetak tahun 2000-an.

Mereka di antaranya, Adwan MP (22 Januari 1986), Alimuddin (6 Maret 1984), Anugrah Roby Syahputra (13 Maret 1988), Bono Emiry (6 Mei 1981), Djamal (9 September 1982), Ilham Wahyudi (22 November 1983), Irwan Effendi (21 Mei 1981), Januari Sihotang (1 Januari 1984), Miftah Fadhli (29 Februari 1992), Muhammad Nur (12 Oktober 1991), Muhammad Pical Nasution (3 Januari 1986), Rama Andriawan (28 Juli 1986), Sihar Sitompul (6 Mei 1981) dan Sukma (13 November 1985).

Berikutnya, Andani Fiza (30 Mei 1980), Budiah Sari Siregar (12 Juni 1987), Ester P (2 Juni 1986), Fitri AB (26 Desember 1988), Intan Hs (28 September 1981), Nur Astifa (10 April 1986), Rahmadyah Kusuma Putri (7 November 1993), Ria Ristiana Dewi (7 Maret 1989), Riza Rahmi (31 Juli 1988), Sakinah Annisa Mariz (2 Mei 1991), Selvi Rani (10 September 1987), Sri Rizki Handayani (10 Juli 1986), Tiflatul Husna (12 Agustus 1992), Tis’a Muharrani (22 Agustus 1988), Wahyu Wiji Astuti (8 November 1988), Wika Fitriana (19 Oktober 1990), Yusnita H (22 Maret 1986), dan Zuliana Ibrahim (13 Juli 1990).

Didukung banyaknya koran saat ini dan umumnya menyediakan tempat publikasi puisi dan cerpen. Jumlah pembuat puisi maupun cerpen seangkatan mereka, lebih banyak lagi. Dari sekadar catatan nama-nama yang pernah mewarnai rubrik Rebana Harian Analisa dan Rentak Harian MedanBisnis. Jelas mereka merupakan benih sastrawan pascareformasi.

Hanya saja, di tengah kondisi demikian, koran sebagai penyedia ladang percumbuan dengan dunia sastra yang -oleh penanggung jawab rubriknya- mengutamakan selektivitas. Berhadapan dengan ancaman mudah ditinggal oleh mereka yang tergolong baru sebagai pembuat puisi maupun cerpen. Untuk selanjutnya beralih ke ladang percumbuan baru di koran lain. Padahal, banyak di antara pilihan baru itu cuma ladang tandus.

Berpindah ke ladang baru percumbuan dengan dunia sastra itu biasanya dilakukan para benih sastrawan pasca reformasi yang penuh harap karyanya segera dimuat berselang tak lama setelah dikirim.

Padahal, banyaknya karya diterima redaksi rubrik sastra atau budaya, mengakibatkan karya-karya yang -tentunya tanpa setahu pembuatnya- sebenarnya telah masuk pertimbangan akan dimuat harus menunggu giliran pemuatan. Selama masa menunggu itu, kerap ada di antara mereka yang tergolong baru sebagai pembuat puisi atau cerpen, lantas mengalihkirimkan karyanya ke koran atau media massa lain.

Sebagian, ada memang yang terlebih dahulu menyatakan menarik karyanya. Tak jarang ada juga yang melakukan itu diam-diam atau bahkan sengaja mengirimkan satu karya ke beberapa koran. Segelintir lainnya bersikap lebih bijak. Menarik karyanya yang sudah lama dikirim, namun belum dimuat, sekaligus menyatakan akan memperbaiki dan mengirimnya kembali.

Sangat mungkin mereka yang buru-buru mengalihkirimkan karyanya itu, beroleh kesempatan pemuatan lebih spontan dibanding di koran sebelumnya. Hanya saja, jika dicermati, ada hal teramat tak mendukung perkembangan ke depan, mereka yang tergolong baru sebagai pembuat puisi atau cerpen untuk meningkatkan kualitas karyanya.

Sebab, yang mereka dapat sekadar peluang karyanya cepat dimuat, karena di koran-koran tertentu kalaupun ada seleksi terkesan cuma untuk memilih karya-karya yang dirasa menarik. Sama sekali tak menyelusup ke persoalan estetis. Ini antara lain terbukti dari karya-karya yang dimuat, tak jarang bersalahan dalam penempatan tanda baca dan logika bahasa tak jadi pertimbangan pengarangnya. Sudahlah begitu, luput pula dari kecermatan penangung jawab rubriknya.

Kondisi seperti itu terjadi tak lepas dari berjibunnya jumlah media massa – terutama koran, plus media massa online – pasca reformasi, yang sekaligus memberi peluang teramat mudah bagi hampir setiap orang untuk merasakan nikmatnya bercumbu dengan dunia sastra. Mereka yang dipercaya sebagai penanggung jawab rubrik sastra atau budaya di koran-koran tertentu, tak jarang hanya berbekal satu-dua karyanya pernah dimuat di koran lainnya.

Bersebab minimnya bekal penanggung jawab rubrik sastra atau budaya di koran-koran tertentu itu, jadilah rubrik yang ditanggungjawabinya mewujud sekadar ladang tandus. Oleh karena tak sedikit di antara yang tergolong baru sebagai pembuat puisi atau cerpen, kerap lebih memilih agar karyanya cepat dimuat. Mereka yang sesungguhnya benih sastrawan pasca reformasi itu pun akhirnya sekadar bersemi di ladang tandus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar