Rabu, 26 Januari 2011

Soft Launching "Museum Batak": Ingin Representasikan Enam Puak

Thompson Hs

Batak dikenal secara antropologis terdiri dari lima puak, yakni: Angkola/Mandailing, Toba, Pakpak/Dairi, Simalungun dan Karo. Pijakan antropologis yang sudah ada ini dapat berkembang dalam pertarungan lain, seperti kepentingan sejarah, politik tradisional, ideologi, dan komersialisasi kebudayaan.

Contoh terkait dalam kepentingan sejarah, Batak menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ikhwan Azhari dan kelompok Pusat Studi Ilmu Sejarah (Pussis) Unimed Negeri Medan baru-baru ini dikonstruksi oleh Jerman dan Belanda. Istilah Batak itu dianggap bukan hasil pengakuan orang-orang Batak sendiri; namun dari pihak lain seperti Jerman dan Belanda. Penelitian Ikhwan Azhari didasarkan kepada sumber-sumber sekunder yang ada di Jerman, meskipun perdebatannya belum masuk ke level akademis.

Dalam politik tradisional juga Batak tidak selalu diakui dalam kesatuan kelima puak, karena perbedaan kecenderungan kepemimpinan. Misalnya di Simalungun dan Mandailing sempat terjadi kecenderungan feodal. Di Toba, Pakpak dan Karo ada kecenderungan komunal. Dalam konteks perkebunan dan kolonial, identifikasi Batak bagi orang Karo, lebih awal melekat dibandingkan dari orang Toba. Orang Mandailing karena pengaruh ideologi Islam Paderi menyebut dirinya bukan Batak. Penelitian antropologis yang dilakukan oleh Z. Pangaduan Lubis, selalu ingin menegaskan Mandailing bukan Batak; namun suku tersendiri yang punya muasal tersendiri. Mitos Siraja Batak juga tidak sepenuhnya dapat dipahami kelima puak yang tergabung dalam kesatuan antropologi itu.

Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, Batak juga menjadi kesatuan gerakan pemuda bersamaan dengan Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera. Dari satu sumber yang ditemukan, Jong Batak dirintis oleh seorang dari marga Sinaga di Tanah Jawa, Simalungun.

"Museum Batak" sudah berdiri di Balige dengan konstruksi megah dan modern. Berdiri di atas lahan sekitar lima hektar. konstruksi gedung seluas 3.356 Meter persegi dengan empat level, memiliki fungsi masing-masing untuk kegiatan pertunjukan, kantor, penyimpanan artefak dan mini kafe. Ornamen bangunan gedung "Museum Batak" dari bahan logam composite dengan motif ukiran yang dibentuk dengan 4.500-an lubang. Arsitek yang terlibat dalam pembangunan gedung itu, adalah alumnus SMA Plus Soposurung Balige dengan melibatkan Intan Mardiana (Direktur Museum Kemenbudpar). Menurut Dra. Masrina Silalahi, Kepala Proyek Pembangunan dalam laporannya pada soft launching di Soposurung Balige 18 Desember 2010 lalu, museum itu dibangun untuk menyimpan artefak dan benda-benda bersejarah yang pernah ada dalam peradaban Batak. Dalam acara itu 1.000 artefak dijadikan bahan pameran sebagai langkah awal publikasi untuk masyarakat luas dan bahan evaluasi untuk persiapan grand opening yang akan dilaksanakan pada 18 Januari 2011 dengan menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Eksterior Enam Puak

Pihak TB. Silalahi Center berperan penting dalam pembangunan museum. Lokasi museum berada persis di samping Museum TB. Silalahi Centre, kira-kira 1,5 KM dari kota Balige. Sebelum acara soft launching berlangsung, interior museum sudah mulai terisi dengan sejumlah informasi penting menyangkut bahan-bahan yang ingin diperkenalkan. Di ruangan lain pada level display pameran stand dari perwakilan daerah juga sudah ada, seperti dari Angkola, Humbang Hasundutan dan Samosir.

Mengikuti informasi enam puak yang dilibatkan dalam acara itu diperkirakan 16 kabupaten akan mengisi stand yang tersedia. Standar display sudah sangat mencukupi dan daya tampung ruang pameran mencapai 500 pengunjung dengan 25 titik kamera di dalam bangunan. Ke depan, gedung akan dilengkapi lagi dengan fasilitas wi-fi dan proyektor.

Semua artefak yang dipamerkan pada kesempatan yang dihadiri berbagai pejabat nasional, lokal, pengusaha, para bupati dan tokoh adat, masih merupakan milik Museum TB. Silalahi Centre dan pinjaman dari pemerintah lokal lainnya serta masyarakat. Ke depan ada harapan benda-benda yang ada di Jerman dan Belanda dapat diboyong kembali ke sana melalui prinsip kerjasama negara.

Kordinasi pendirian museum itu memang sudah dilakukan dengan pemerintah Republik Indonesia dan pihak Museum Sumatera Utara. Kehadiran Barbara Brouwer (dari Belanda) mengisyaratkan adanya harapan itu bagi Letjen TB. Silalahi dua hari sebelum acara.

Di luar museum berlangsung pertunjukan. Ratusan siswi dari Perguruan Sultan Agung Pematangsiantar tampil dengan tari berkostum lima puak dan berurutan dari Pakpak, Karo, Mandailing, Simalungun dan Toba. Penampilan tari diiringi musik rekaman dan paduan suara SMA Plus Soposurung. Paduan warna etnik dan modernisasi menjadi identifikasi gaya kehadiran museum itu di kemudian hari.

Gatot Pudjo Nugroho, sebagai wakil Gubernur Sumut menyampaikan harapannya agar museum itu dapat dijadikan sebagai ruang publik untuk melengkapi fungsi museum yang disinggung Bupati Tobasa, Kasmin Simanjuntak seturut Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1995. Dalam Guide Book (2006) yang diterbitkan Museum Negeri Sumatera Sumatera. Isi peraturan itu: Museum, sebuah lembaga tempat menyimpan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda bukti materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian budaya bangsa.

Sebelumnya defenisi museum dalam dunia internasional, sudah disepakati dan dirumuskan bersama dalam Kongres ICOM (The International Council of Museum) tahun 1974, sebagai sebuah lembaga yang tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat, perkembangannya terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, meneliti dan menyajikan untuk kepentingan studi (pendidikan), kesenangan, barang-barang atau benda pembuktian material manusia dan lingkungannya.

Menurut Letjen TB. Silalahi, pendirian museum ini merupakan contoh saja dan untuk memberikan motivasi bagi generasi muda untuk belajar tentang kebudayaannya. Sebagai salah satu contoh, museum itu merupakan susulan dari contoh-contoh yang dibuat sebelumnya seperti mendirikan Pabrik Air Mineral Aeros (1990), kemudian setelah rugi digantikan dengan pendirian Museum TB. Silalahi Center dan SMA Plus Soposurung Balige (1992). Pendirian semua fasilitas umum bukan karena kekayaan harta; namun sesuai dengan filosofi Jawa: Sugih Tanpo Bondo.

Demikian menurut TB. Silalahi sebelum menyampaikan sponsor pendirian "Museum Batak" dari tiga orang kaya dari Pematangsiantar (Martua Sitorus, Johan Lensa, Leo Lyman). Sebagai "Museum Batak", fasilitas umum belum menjadi nama yang sudah final. Nama museum itu masih terbuka namanya untuk diajukan. Dalam kesempatan memberikan sambutan saat itu, para bupati yang hadir sempat mengiyakan nama museum dengan: Museum Batak Bonapasogit. Semoga tidak tergantung para bupati!

Sebagai museum termoder di Sumatera Utara, desain interior gedung itu sangat menarik. Memasuki gerbang TB. Silalahi Center kita sudah bisa langsung menuju lokasi museum dan akan melihat gedungnya seperti plaza. Di pelataran gedung terdapat patung seekor kerbau ditunggangi seorang anak bertelanjang dada dan membaca buku. Di sebelah kiri gedung berdiri patung identifikasi Siraja Batak dengan tongkat Tunggal Panaluan dan Piso Halasan. Dekat pijakannya dua prasasti bertulisakan tiga falsafah (kekayaan, kebahagiaan, kehormatan) dan lima nasehat (bersihkan hatimu, tubuhmu, pakaianmu, rumahmu, pekaranganmu) dengan menggunakan aksara varian Toba. Kesannya Siraja Batak beridiri di atas Gunung Pusuk Buhit dengan lanskap Danau Toba.

Tembok setinggi 2,5 Meter menjadi latar pertama pelataran sebelum menaiki tangga menuju gedung museum. Di antara tembok itu terdapat diorama enam puak secara terpisah dan dimulai dari sebelah kanan tembok dengan diorama Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Angkola, Pakpak. Itulah salah satu yang menarik dalam eksterior museum selain dapat menelusuri bagian belakang yang menghadapkan kita dengan pemandangan sawah dan Danau Toba nan masih indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar