Rabu, 26 Januari 2011

Gonta-Ganti Istilah

Damiri Mahmud

Dalam seluk-beluk bahasa, dikenal apa yang disebut dengan istilah. Waktu saya mengaji dulu, dipelajari apa yang disebut dengan “makna lughat” dan “makna isthilah”.

Makna lughat, adalah arti yang tersurat, sedangkan “makna isthilah” adalah arti khusus atau tersirat. Dicontohkan kata shiyam arti lughatnya menahan. Sedangkan arti istilahnya menahan diri dari yang membatalkan puasa mulai terbit fajar, hingga terbenam matahari.

Dalam habasa Arab sebuah kata yang telah menjadi istilah telah baku. Artinya senantiasa tidak berubah, sehingga memudahkan untuk memahaminya dan tidak tumpang-tindih dan tidak membingungkan. Dari dahulu sekolah menengah disebut Madrasah Tsanawiyah , hingga sekarang. Tak ada Madrasah Aliyah (MAN) seperti di negeri ini.

Mungkin dalam bahasa Inggris begitu juga. Kalau ada alat teknologi yang baru ditemukan, untuk penamaan benda baru itu, lebih dahulu dicarikan kata-kata yang sudah ada. Misalnya komputer. Kata computer arti tersuratnya adalah mesin hitung. Sekarang dia telah menjadi istilah dengan cakupan arti yang begitu luas.

Sebaliknya, dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, kita melihat sebuah istilah selalu berubah untuk makna yang sama. Kita, terutama para ahli bahasa, selalu mengubah dan merasionalisasi sebuah istilah. Misalnya istilah kementerian diubah menjadi departemen, kembali lagi ke kementerian. Istilah SMA diubah menjadi SLTA lalu diubah lagi menjadi SMU kemudian kembali ke SMA.

Ini namanya tidak konsisten dan membingungkan. Lebih jauh, karena istilah di atas bagian atau kewenangan sebuah lembaga resmi, dampak kemubazirannya sungguh luar biasa. Seluruh kertas surat dan buku-buku pelajaran harus diganti. Begitu juga cap dan stempel, papan nama serta baju seragam. Milyaran atau bahkan trilliunan belanja Negara amblas hanya untuk mengganti satu kata, yang nyatanya sia-sia saja.
Istilah guru diubah menjadi pendidik dan murid menjadi anak didik, berubah lagi peserta didik. Istilah sastrawan diubah menjadi praktisi sastra, sementara ahli sastra menjadi teoritisi sastra.

Kalau kita telisik pengubahan istilah itu tampaknya adalah upaya untuk merasionalkan arti yang tercakup di dalamnya. Misalnya istilah SMA (Sekolah Menengah Atas) tadi. Kata menengah artinya berada di tengah. Sudah berada di tengah mengapa dikatakan pula atas? Ini tak rasional.

Diubah menjadi SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Dipikirkan lagi, mengapa SLTA sedangkan yang setingkat di bawahnya adalah SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Mestinya tentu bukan SLTA tapi SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua). Setelah dipikir-pikir ini tidak kena. Karena kalau begitu mesti ada SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Ketiga). Seterusnya SLTK berikutnya. Ini tak rasional.

Dipilihlah gantinya SMU (Sekolah Menengah Umum). Karena peserta didik (he he, sangat enak dan rasional istilah ini) yang mengikuti pembelajaran (apa pula artinya ini) di sini semata mempelajari yang umum, menyeluruh, bukan yang khusus. Karena sudah dirasa cocok maka sekolah yang mempelajari bidang tertentu perlu pula diganti. STM (Sekolah Teknik Menengah) dan SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) menjadi SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).

Tak cukup hingga di situ, istilah SMU perlu dipikir ulang. Ini tak rasional. Mengapa? Karena “lihat punya lihat” dalam kamus, yang adalah terbitan “awak” sendiri (Departemen Pendidikan Nasional sekarang ganti Kementerian Pendidikan Nasional), yaitu KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ternyata arti umum itu lebih kepada rakyat banyak, khalayak ramai, untuk orang banyak, untuk siapa saja, sudah (rata) tersiar ke mana-mana, diketahui orang banyak.

SMU pun sudah tak rasional dan harus pula diganti. Apa pula istilah yang lebih tepat. Mungkin karena bingung dan tak mendapatkan nama lain, dikembalikan saja ke istilah lama: SMA (memang didengarnya lebih enak koq!) Apa pula para sosiolog sekarang sudah getol membagi strata menengah itu kepada menengah bawah dan menengah atas.Sudah kloplah itu!

Ada pula istilah pembelajaran. Konon istilah ini menyangkut metode belajar yang penekanannya lebih kepada murid atau siswa (eh, peserta didik, maaf). Saya bayangkan, seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia ketika memasuki lokal akan berkata: “Para peserta didik sekalian. Sekarang kita meneruskan pembelajaran bahasa Indonesia. Mari kita buka halaman 50. Di situ tertera puisi Aku oleh Chairil Anwar. Sebagaimana kita ketahui puisi ini diciptakan pada zaman Jepang, bukan? Nah, peserta didik tentu sudah siap dengan bahan-bahan untuk mengapresiasinya. Selamat melakukan pembelajaran…!”

Karena istilah pembelajaran penekanannya kepada murid, sedangkan guru hanya bertindak mengarahkan saja, tentu dibebaskanlah mereka mengapresiasi puisi itu dengan cara dan pemahaman mereka sendiri.
Hal ini tentu hanya masalah metode belaka dan karena itu tak perlu menukar istilah. Sebagai analogi, suami-istri yang ingin mengubah kiat bagaimana supaya rumah tangga lebih harmonis, misalnya dengan memberikan penekanan lebih memperhatikan perkembangan dan pendidikan anak, tentu tak perlu menukar istilah suami-istri dengan laki-bini.

Sebelum muncul istilah pembelajaran, sudah ada pelajaran. Muatan maknanya lebih kurang sama. Apabila seorang guru berkata kepada murid-muridnya di depan kelas: “Anak-anak sekalian, pelajaran kita sekarang tentang kata majemuk…”. Pelajaran di situ berarti keadaan dan proses belajar-mengajar. Tentu yang menyangkut keadaan guru, murid, ruang kelas, buku, alat-alat tulis dan sebagainya. Masalah bagaimana guru menyajikan mata pelajaran itu dan bagaimana penekanannya, tentu bergantung kepada metode yang telah dikuasainya.

Semestinya, kita menghindari kata berimbuhan yang bertumpang-tindih dengan konfiks dan simulfiks untuk dijadikan istilah. Karena pemahamannya sangat rumit dan membingungkan. Kita teringat kepada metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktip) yang dipinjam dari Barat itu. Kita tergila-gila dan menganggap itulah metode yang paling ampuh. Ternyata kita belum siap terutama dalam pengadaan logistik serta sarana dan prasarananya.

Bagaimana seorang guru SD bisa melaksanakan metode itu, sementara dia masih menggunakan kapur tulis dan alat peragaan minim kalau boleh dibilang tak ada. Ketika mau melakukan diskusi kelompok, ruang yang dipakai tetap ruang kelas itu juga. Terjadilah keributan luar biasa. Murid-murid menarik bangku dan meja ke sana ke mari untuk membuat formasi lingkaran dan berhadap-hadapan dengan meninggalkan bunyi yang riuh. Tak jarang kaki kursi dan meja bercopotan. Hal ini tentu menguras enerji dan waktu yang tidak sedikit.

Metode-metode yang dibuat di Barat itu, mungkin cocok dengan keadaan dan budaya mereka. Semua kelengkapan untuk itu telah mereka sediakan. Ruang laboratorium, halaman olah raga, perpustakaan dan sebagainya. Budaya mereka yang individualisme mungkin cocok ditambah dengan diskusi-diskusi kelompok, sebagai sarana bersosialisasi. Anak-anak kita di Indonesia ini umumnya, sewaktu guru menerangkan pelajaran di depan kelas pun mereka sudah berceloteh satu sama lain.

Kita sibuk gonta-ganti istilah dan meminjam metode canggih dari Barat, seolah kiat ajaib yang mampu mengdongkrak mutu pendidikan kita. Padahal sebaliknya, kita telah membaca sebuah penelitian, lebih 70% guru-guru di Indonesia sebenarnya tidak layak mengajar. Inilah yang semestinya dibenahi terlebih dahulu tapi tidak dengan terburu-buru dan tambal sulam.

Program sertifikasi yang dilaksanakan sekarang ini ibarat makan buah simalakama. Tak mungkin rasanya hanya beberapa bulan saja keahlian dan mentalitas mereka bisa berubah drastis. Nyatanya para guru menyerbu program ini terutama karena terbius oleh imbalan tunjangan yang diperoleh. Ironinya, kesibukan tambahan mereka dalam mengejar dan mendapatkan sertifakasi itu, di lain pihak sedikit-banyak mengabaikan para siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar