Minggu, 23 Januari 2011

Pentas Monolog “Celah” Bunda Jibril Wanita sebagai Ikon Ketidakadilan


Juliana Ibrahim

Sabtu sore 4 Desember 2010, pukul 16.00 WIB, di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), dipenuhi oleh puluhan orang. Baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, pekerja sastra maupun masyarakat umum. Mereka tampak antusias hendak menyaksikan teater monolog ’Celah, diperankan Bunda Jibril (Indah Zuhairani Siregar), aktor monolog yang mulai masuk dalam wilayah perteateran di Sumatera Utara.

Celah, naskah yang ditulis sendiri oleh Bunda Jibril dan untuk pertama kalinya (perdana) dipentaskan. Bunda Jibril pertama kali pula dalam mementaskan teater disutradarai oleh M Raudah Jambak. Mengapa Raudah Jambak tertarik menyutradari naskah monolog celah? Mungkin saja ini karena ketertarikannya pada makna yang diungkapkan dalam naskah yang berisi nasehat, agar wanita piawai untuk menjaga kehormatan diri. Celah, diakui Raudah Jambak sejatinya bermakna sebagai alat vital perempuan. Kembali kepada penonton, apakah dapat menangkap dengan baik dari pemaknaan yang sesungguhnya ingin penulis naskah sampaikan.

Semula saya memang sedikit pesimis karena teks Celah yang dituliskan Bunda jibril bersifat absurd, kekuatiran ini dipicu oleh penonton yang hadir bukan hanya dari kalangan para penikmat sastra saja. Pemikiran saya tertuju pada penafsiran makna oleh penonton, nantinya setelah usai menonton teater ini. Syukur-syukur jika penontonnya pandai menafsirkan makna teks yang tersirat, sesuai dengan apa yang dikatakan sutradara. Jika tidak, penonton akhirnya tidak dapat menikmati apa yang telah mereka tonton dan akan terlihat kesan pemaksaan untuk dapat memahami isi dari naskah tersebut.

Bulan mengendap di balik kota. Sebait rindang mengantar sejarah pulang tanpa sarang. Salah satu isi dari naskah monolog Celah. Bunda Jibril terbiasa menggunakan bahasa puitis, mengakui dia menulis naskah celah hanya dalam waktu satu hari saja. Ini membuktikan betapa dalam kecintaannya pada dunia sastra. Celah, juga diakuinya sudah ada satu bulan sebelum pementasan. Dia melakukan gladi resik hanya dalam waktu tiga hari. Menurut saya, ini suatu totalitas pengabdian dirinya terhadap dunia teater.

Pentas Celah boleh jadi sebagai penolakan atas ketidakadilan bagi wanita yang selalu dijadikan pelampiasan bagi lelaki hidung belang. Akhirnya kreativitas wanita menjadi tidak bebas terekspresikan. Totalitas yang ditampilkan oleh Bunda Jibril dalam monolog Celah, membuat penonton untuk tetap berada di tempat duduknya. Dia membuktikan, meski dia wanita, dia tetap aktif dalam berkarya.

Celah, naskah keprihatinan Bunda Jibril terhadap kaum wanita yang sering dijadikan ikon ketidakadilan. Celah bercerita tentang seorang wanita penari, ingin menunjukan kreativitasnya, malah sebaliknya hidup dalam penderitaan, akibat dari perbuatan kejam dua lelaki hidung belang. Kemudian menelantarkannya setelah menanam benih dalam rahimnya. Dia harus berjuang sendiri menghidupi anaknya dalam bayang-bayang hitam yang terus menghantuinya. Naskah ini mengajak para penonton untuk aktif berpikir memaknai setiap gerakan, teks serta masalah yang dilontarkan.

Tiap karakter dalam naskah dengan baik diperankan oleh Bunda Jibril, dimulai dari peran sebagai seorang remaja (penari), ibu, dua orang laki-laki, anak kecil dan wanita tua. Ia mampu membuat penonton untuk segera berpikir, sewaktu-waktu dia bisa berubah menjadi wanita muda, laki-laki, anak-anak dan seterusnya.

Simbolisasi pentas Celah yang dimainkan Bunda Jibril, dikemas lewat sehelai selendang putih, dia gunakan setiap saat dalam adegan. Menurut saya ini menarik, sebab dia memanfaatkan selendang. Kadang kala dia perankan menjadi seorang bayi, laki-laki, bahkan sebuah botol susu. Menurut M. Raudah Jambak, selaku sutradara, simbol yang ditampilkan pada dasarnya menggambarkan sisi dari kewanitaan dan penonton bebas menafsirkan setiap simbol-simbol yang dipentaskan.

Perlu disorot dalam pementasan ini, keseluruhan dari properti yang digunakan. Pada dasarnya kekuatan dari sebuah pementasan monolog terletak pada pemain. Dia harus sadar ruang, memanfaatkan panggung semaksimal mungkin. Di atas panggung disediakan tiga posisi yang berbeda, ini menggambarkan khazanah dari perjalanan hidup si tokoh.

Pertanyaannya, mengapa Bunda Jibril terlalu sering memanfaatkan posisi panggung sebelah kanan dari pada sebelah kiri? Terlihat jelas hampir 80 persen, dia hanya memanfaatkan panggung sebelah kanan dari pada sebelah kiri. Suatu kekeliruan pun sempat terjadi ketika penata lampu mengira si pemain akan bermain di panggung sebelah kiri yang kemudian menghidupkan lampunya, namun tanpa diduga pemain malah tidak ke arah yang dimaksud.

Penonton dibawa pula ke dalam alunan musik kontemporer dan diikutsertkan dalam tari-tarian. Bisa jadi tarian ini menjadi sebuah isyarat dari ketidakadilan bagi wanita. Tarian yang menggambarkan kebebasan ataupun keterikatan sebagai wanita. Bunda Jibril memainkan tarian diiringi alunan nada, namun didapati pula ketidakseimbangan antara musik dengan latar cerita dari naskah. Ketidakselarasan antara adegan yang sebenarnya bernuansa sedih, malah diiringi musik yang bernada pemacu semangat.

Di tengah pementasan ditemui pula ketidakefektifan para penonton yang memberikan tepuk tangan. Tepuk tangan penonton ini seharusnya dihindari saat pementasan masih berlangsung karena akan sangat mengganggu konsentrasi pemain. Apalagi ditemukan pada menit ke empat puluh lima pementasan, kekuatan fisik si pemain sudah tampak mulai kendur.

Begitu pun vokal dari Bunda Jibril yang mulai mengecil dan juga ketika pada adegan bayi si wanita muda menangis, anak si pemain Indah Zuhairina Siregar (Bunda Jibril) yang bernama Jibril pada saat itu berada di tengah-tengah penonton ikut menangis dan tawa penonton pun memecah perhatian dalam ruangan. Hal ini berpengaruh pada keefektifan Bunda Jibril dalam mementaskan naskah monolognya. Walau begitu, Bunda Jibril yang sudah lama mengenal dunia teater tentu harus tetap mempertahankan totalitasnya sebagai pemeran monolog.
Penulis; Mahasiswa Sastra Indonesia FKIP UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar