Selasa, 11 Januari 2011

DAMIRI MAHMUD

Cinta Rabiah

Rabiah, kau kecewa
pada peradaban
manusia
buru-buru merujuk Tuhan
bercinta

gemerincing rebana dan tarian
dendangan sepanjang jalan
sebagai sahaya kesepian
samalah seperti
ketika kau berlari-lari
menating semangkok air
dan setitik api
imajinasi

cinta yang menghanguskan surga
adalah sepercik angan
yang dusta
angkuh dalam kelembutan
kata-kata
rela sepenuh-penuh neraka
menyingkap hijab
kau
manusia

Aku Sebungkah Darah

siapakah rabiah nari sepercik api sepanjang surga rumi nangis berputar di simetris syamsi tabris siapakah al-hallaj di balik khirka bulukan sembunyikan tuhan attar terkapar mabuk di sabuk simurgh

buku-buku tua membacakan lembar cinta penuh kecoa gemeremang musik pop kecarian makna mematut-matut wajah dengan parfum dollar amerika

aku hanya sebungkah darah leleh dalam formulasi senyawa kimia bagai einstein yang nganga

Aku tak Rindu

aku tak rindu seruling hafiz dan rumi tak kemaruk mabuk ibnul farid aku butakan mata atas kerlap singgasana simurgh ketika tiga puluh attar rebah pada altar aku ludahi muka alhallaj jual kebenaran seharga khirka tua penuh kecoa kusamak sihir formulasi ibnu arabi pelan-pelan kubaca Alquran dan hadis nabi palingkan diri dari fantasi para syekh sufi

Aku Ingat Suatu Kali

aku ingat suatu kali engkau berkata datanglah kembali ke rumah tua itu mematah-matah ranting memungut daun-daun berserakan di halamannya kanak-kanak bersorak di kejauhan melantunkan sajak dan irama tak lagi terbaca oleh bahasa melayang ke sawang pecah dalam semak-semak cuaca

aku ingat suatu kali engkau pun berkata pandanglah langit tak habis-habisnya menyelam ke dalam laut tenteram dengan segala apa yang masih jadi rahasia

aku pun masih ingat ketika engkau berkata tataplah manusia

10 Oktober, 2002

Kita Saksikan

"Nyalakan bahang!"
titah sang fir`aun
(ramses atau siapakah dia)
hangatnya masih tersisa
hingga ke iga

(pendulang piramid itu
menutup dua belas mata air
yang mengalir
mengetuk pintu-pintu
ketika terdengar
ea)

bahkan kita saksikan
raja-raja agung
memakai anting khatulistiwa
negeri adiluhung
sambil menari
dan nembang dandang gula
mengemas gemuruh langit
dan ganas ombak
dalam kemasan kotak
air minum kita
udara yang terhirup sehari-hari

Hotel Siantar

antar aku ke siantar sumatera sebuah gedung tua arsitektur olanda kaku namun teduh dan kukuh pilar-pilarnya membentang di hadapan kita halamannya gelap dengan beringin berjela burung-burung hinggap memadu cinta di sana

sambil duduk di kursi goyang dalam sebuah ruang menekan tuts-tuts piano kuna memandang lukisan rembrant duplikasinya tentu mengisap asap serutu buatan eropa aku lihat serombongan koeli tembakau deli terbungkuk-bungkuk dihalau bagai kawanan kerbau teken kontrak lagi gaji ludas diraup bandar judi diundang maskepai dari shanghai ngantuk malas merabuk afdeling buat gusar toean besar mandor dan centeng melecut cambuk berkali-kali darah meleleh-leleh di bumi

toean raflen sesten kebon kesepian dalam senja renyai nyonya liburan pulang ke nederland mau dansa di rumah bola depan hotel de boer medan sudah bosan, "mbok panggil ningsih jadi nyai pandai menari malam ini"

"santap malam, tuan" pelayan restoran, "silakan cicipi"

DAMIRI MAHMUD, lahir di Medan, 1945, mulai menulis sekitar 1970. Kumpulan puisi tunggalnya "Damai di Bumi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar